Jumat, 03 Agustus 2012

Sultan Adukan Pelanggaran Hak Masyarakat Adat ke PBB

Sultan Kesultanan Melayu Jambi Raden Abdurrahman Thaha Syaifudin mengingkapkan dirinya telah mengadukan kepada PBB mengenai berbagai pelanggaran yang dilakukan pemerintah dan perusahaan terhadap hak masyarakat adat dan keturunan kerajaan Melayu Jambi.

"Secara lisan kita sudah adukan kondisi merugi yang menimpa masyarakat adat dan keturunan Kesultanan Melayu Jambi kepada PBB khususnya terhadap pelanggaran-pelanggaran hak masyarakat adat dan keluarga kerajaan, alhamdulillah PBB merespon positif kondisi ini," kata Sultan Jambi, Raden Abdurrahman Thaha Syaifudin di Jambi, Rabu.

Di katakan Sultan, adapun bentuk pelanggaran yang dilaporkan tersebut  yang paling mendasar adalah pelanggaran di bidang agraria seperti perampasan lahan atau tanah kerajaan dan keluarga kerajaan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan.

"Salah satu contohnya adalah lahan milik keluarga kerajaan di Tebo Ulu Kabupaten Tebo di dekat Taman Nasional Bukit 30 seluas 7.500 hektare yang kini telah menjadi milik sebuah perusahaan log (kayu) semenjak 10 tahun lalu yang merampas tanah tersebut dari masyarakat dengan berbekal surat izin dari Kemenhut dan gubernur serta bupati setempat," ungkap Sultan.

Padahal, tambah dia, lahan tersebut berstatus hutan konservasi semenjak pemerintahan penjajahan Hindia Belanda, yang artinya samasekali tidak boleh diganggu oleh pihak mana pun apalagi oleh perusahaan log.

Menurut Sultan, pelaporan yang disampaikannya tersebut mendapat respon positif dari PBB dengan mengutus perwakilan dari Unicef untuk turun langsung ke lokasi guna mengecek kondisi real atas perampasan  lahan kerajaan dan masyarakat adat berstatus hutan lindung konservasi tersebut.

"PBB menilai hal itu adalah pelanggaran HAM dan terkait pula terhadap hukum pelestarian lingkungan berstatus Taman Nasional yang harus diusut tuntas dan dikembalikan kepada masyarakat adat pemilik sah lahan tersebut," ujar Sultan.

Dikatakan Sultan, sejatinya perwakilan pihak PBB melalui Unicef sudah datang ke Jambi menemuinya pada Juni ini guna mulai melakukan pendataan termasuk menerima laporan tertulis pihak kesultanan yang telah disiapkan.

"Tapi karena kondisi saat ini tidak memungkinkan karena konsentrasi PBB terfokus pada Rohingya dan Papua, namun mereka mengatakan September mereka positif akan datang," kata Sultan.
Menurut Sultan, pelaporan  dugaan pelanggaran hak masyarakat adat dan keluarga kerajaan tersebut terpaksa dilakukannya karena segala upaya yang telah dilakukannya sampai ke Kemenhut menemui jalan buntu, tanpa adanya solusi setelah pengusutan berkesnimbangan yang dilakukan Kemenhut dan Pemprov. Jambi.

"Saat ini Kesultanan Jambi sudah kembali berdiri dan diakui oleh kerajaan dan kesultanan se-nusantara, karena itu sudah seyogyanya lahan milik masyarakat adat dan keluarga kerajaan itu dikembalikan ke yang berhak," ujar dia.

Lebih jauh Sultan menegaskan, ada tiga macam status tanah atau lahan kerajaan, yakni Harta Kerajaan, Grand Kesultanan dan Tanah atau Warisan Sultan.
"Untuk status yang pertama yakni lahan kerajaan bersifat lebur seperti saat ini telah dimanfaatkan jadi tapak bangunan satu kantor pemerintah misalnya, artinya dengan sendirinya pengelolaannya menjadi hak negara," kata dia.

Sementara, warisan berstatus Tanah Sultan harus dikembalikan kepada sultan, begitu pula dengan lahan Grand Sultan harus dikembalikan kepada masyarakat adat dan keluarga sultan, tegas dia.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, salam...

    Kategori

    Tentang ATL

    Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi merupakan wadah sekumpulan orang-orang yang prihatin terhadap tradisi yang semakin lama semakin berkurang para penuturnya. Sekarang kami bermarkas di Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Silakan kontak kami di email atl_jambi@yahoo.com

    Pengelola

    Pemerhati