Dalam refleksi historis hubungan Jambi -Johor mengalami dinamisasi oleh ketatnya posisi masing-masing kawasan dalam kegiatan yang berkaitan dengan perekonomian dan hegemoni yang melekat di dalamnya. Posisi strategis dalam silang alur pelayaran di Selat Melaka dan dekolonisasi pengaruh barat (Portugis, Belanda dan Inggris) membuat ke dua belahan kerajaan Jambi dan Johor terkadang sangat dekat dan di lain waktu saling serang berkesendirian atau dibantu oleh kekuatan lain yang mengambil peran sesuatu kepentingan.
Awal hubungan direkat oleh kesamaan ras dan bahasa melayu sejak masa migrasi 10 ribu sampai dengan 4 ribu Tahun Sebelum Masehi yang melekatkan ke duanya dalam serumpun melayu dengan penanda masa Parameswara yang membangun kerajaan awal Melaka di abad 15 (1400 M), Prof. dtk. Dr. Mohd. Yusoff Hashim (2005) menulis Parameswara bekas ahli politik Melayu dari Singapura keturunan Palembang atau Jambi (sekarang yang mentuani Jawa Majapahit, lanjutan Jawa Singosari) berjaya mengekalkan identity politik Melayu temurun dan tradisi politik Kemelayuan sebagai melanjutkan tradisi politik tanah asal mereka dari Pesisir Timur Sumatara itu.
Keserumpunan ini membuat keberlangsungan penguasaan tidak terlalu hitam putih bahkan suatu cerita atau legenda Hang Tuah menjadi simbol kepahlawanan dan ketegaran kedua serumpun ini. Film Nujum Pak Belalang telah merajai tayangan di panggung pertunjukkan Jambi di Tahun 50-60 an. Apalagi pemain utamanya P. Ramli adalah orang Indonesia Medan, walau Indonesia pernah berkonfrontasi dengan Malaysia.
Kesan manis seperti diuraikan di atas telah menukil sejarah berdirinya Melaka yang kemudian telah berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi incaran Portugis yang kemudian menguasai Melaka Tahun 1511.
Penguasaan Portugis ini menimbulkan multiplisitas pusat-pusat politik yang berubah baik oleh adanya unsur penguasaan atau menurut siklus hidup seseorang raja. Dengan wafatnya raja sepertinya selalu terjadi persaingan baru untuk mendapatkan posisi penguasa melalui jejaring penguasaan baru dengan mengunakan strategi militer, persekutuan atau manipulasi dan intrik-intrik orang-orang di lingkungan istana.
Perubahan penguasa ini juga membuat geografis kekuasaan berubah mengikuti kedudukan raja yang bersangkutan. Peralihan pusat geografis kekuasaan ini diperlihatkan oleh berpindah-pindahnya penguasa kerajaan Melaka dari Melaka ke Bintan kemudian ke Johor dan Lingga sebelum berpindah lagi ke Johor dan kemudian terjadi pemisahan menjadi 2 wilayah kekuasaan kerajaan.
Multiplisitas pusat politik tersebutlah yang membuat semacam penguasaan seperti adanya raja Jambi bernama Tun Telanai pertengahan abad ke 15, perang Johor-Jambi abad ke 18 termasuk pengusaan Johor atas Kuala Tungkal. Sedangkan pada masa Sultan Thaha Saifuddin di penghujung abad ke 19 dan awal abad ke 20 mengungsikan sanak keluarga dan pengikutnya ke Johor melalui jalur Siak-Johor. Kemudian ketika utusan Sultan Thaha yang berangkat ke Turki meminta bantuan dalam melawan Kolonialis Belanda yang tak dapat kembali ke Jambi seterusnya bermukim di Johor.
Pada sisi lain ternyata salah seorang mufti Johor yaitu H. Ahmad Said bin Ibrahim berasal dan alumni Madrasah Nurul Iman (seberang Kota Jambi) yang kini masih berdiri, dan catatan ini kita lanjutkan.
Tun Telanai Raja Jambi ?
Oemar Ngebi Sutodilago dalam Undang-undang piagam dan kisah Negeri Jambi (1937) menulis Tun Telanai menjadi Raja Jambi setelah Dewa Sekerabah atau digelar si pahit lidah wafat. Keberadaan Tun Telanai sebagai raja Jambi di rekam pula dalam Kolonial Institut oleh M. M. H. Mennez yang menulis raja ini berasal dari orang Timur yaitu Serawak atau Brunai. Gelar Tun atau Tan rasanya bukanlah gelar yang berlaku umum di kerajaan Jambi. Gelar Tun ini sampai sekarang di pakai di Malaysia.
Sejarah Melayu karya Tan Sri Lanang 1612 (WG Shellabear, 1982) mengambarkan, …….maka Tun Telanai pun berlayarlah ke benua Cina, maka dengan takdir Allah taalah angin besarpun turunlah, maka Tun Telanai pun bias ke Bunai. Telah terdengar oleh Baginda, Maka Tun Telanai dan Jana Putra pun datang menghadap raja Brunai…… telah datang musim akan pulang maka Tun Telanai dan Meteri Jana Putra pun bermohonlah pada Sang Aji Brunai hendak kembali ke Melaka…… setelah itu maka Tun Telanai dengan Menteri Jana Putra kembalilah, telah sampai ke Melaka.
Informasi lain dalam sejarah melayu tersebut, Tun Telanai di utus oleh Sultan Mansyur Syah (1456-1477). Keberadaan Tun Telanai di Jambi dan menjadi raja sebagai mana diungkap Sutodilogo mendapat kebenaran walau tidak disebut nama dalam kalimat, Bendahara Tun Perak mengambil polisi melindungi negeri-negeri Melayu (dari ancaman musuh tradisinya negeri Siam) di Semenanjung dan beberapa bagian di sumatra seperti Kampar, Indragiri, Jambi, Bengkalis, pulau-pulau Carimun, Bintan, Pasai, Siak/Kepulauan Lingga (D. G. E. Hall 1966 dan Shafie Abu Bakar 1982). Tidak menutup kemungkinan Tun Telanai inilah yang di tempatkan di Jambi.
Dengan demikian kedudukan Tun Telanai sebagai penguasa di Jambi dapat dikatakan menjaga keselamatan alur pelayaran, Selat Melaka yang tentu merupakan urat nadi posisi strategis Melaka itu sendiri. Istilah melayunya, menjaga kemudahan laluan perairan Selat Melaka-Kepulauan Melayu dan Laut Cina Selatan.
Indikasi Tun Telanai bukan orang Jambi terlihat dari legenda Tun Telanai terbunuh/dibunuh oleh anaknya sendiri sebagai mana dinujumkan peramal istana. Jenazah Tun Telanai dibawa anaknya ke Siam, karena ternyata istri Tun Telanai adalah puteri kerajaan Siam yang dihadiahkan karena jasa Tun Telanai membuka kebekuan hubungan antara Melaka dengan Siam.
Sebelum terjadi peperangan antara bapak dengan anak, Tun Tenalai yang semula tidak jadi menyunting Putri Selaro Pinang Masak yang turun dari Pagaruyung telah berwasiat bila ajalku maka jadikanlah Putri Selaro Pinang Masak menjadi raja Jambi. Informasi ini dapat menafsirkan bahwa peralihan yang terjadi lebih kepada pewaris sebenarnya dari kerajaan Melayu dimana Putri Selaro Pinang Masak adalah keturunan raja Melayu Jambi. Dengan demikian penyebutan Tun Telanai sebagai raja merupakan anakronisme yang tidaklah merupakan hal yang secara ansich salah. Penutur mengungkapkan inti sari dalam menjaga keutuhan isi cerita guna memberi gambaran asal usul dinasti atau hak kekuasaan. (R. Pitino Hardjo Wardoyo, 1966).
Hubungan Jambi – Johor abad 15 – 17
Menjelang akhir abad ke 16 pada masa Sultan Talun, Johor menguasai sebagian wilayah Riau dan Indragiri. Menteri urusan laut Johor datuk Bendahara Laksamana yaitu datuk Mangku Bumi dan datuk Bandar Laut bersama Pasukannya diperintah berpatroli ke daerah tahlukkannya. Apa kata badai besar melanda pasukan sehingga porak poranda. Sebagian masuk ke sungai Betara dan sebagian lagi ke sungai Mendahara. Kehadiran pasukan ini kemudian menandai awal kekuasaan Johor atas Kuala Tungkal dan sekitarnya.
Penguasaan atas Tungkal oleh Johor menyebabkan kemarahan Jambi yang memicu masa krisis antara kerajaan Jambi dan Johor. Kendati demikian dalam kurun waktu lama terjadi asimilasi keturunan (diaspora) melayu Johor di Tungkal yang kini dikenal sebagai suku Biduanda. Dalam penguasaan Johor kerajaan menempatkan pejabatnya di Kuala Tungkal yaitu Orang Kayo Rajo Depati dan Orang Kayo Laksamana gelar Datuk Kayo (Zulkifli Nurdin, 2000).
Sebagaimana Tun Telanai, maka penempatan 2 orang putra Sultan Johor ini mengindikasikan adanya benih-benih antagonis laten dari dua kekuasaan Jambi dan Johor. Rivalitas antara ke dua kerajaan tersebut yang memercikkan konflik bersenjata sebagai letupan mempertahankan kedaulatan dan perebutan hegemoni politik dan persaingan perdagangan antara Johor dan Jambi. Apalagi ada pandangan bahwa Jambi di kala itu dianggap berstatus sebagai vatsal Mataram (Majapahit) sehingga bisa menjadi penghalang ekspansi Johor. Di mata Johor pengaruh Mataram di Melaka, Jambi, Palembang dan Banjarmasin merupakan suatu pengepungan terhadap dirinya (Sartono Kartodidjo, 1993).
Selanjutnya soal hubungan perkawinan antara dua kerajaan juga dapat memperuncing konflik. Awal diplomasi perkawinan ketika Sultan Hammad Syah Johor menyunting putri Panembahan Koto Baru (1590-1615) berhasil meredam gejolak permusuhan Jambi dengan Johor (Zulkifli Nurdin, 2000). Namun diplomasi perkawinan raja muda di Tahun 1659 yang semula sebagai membuhul aliansi kedua kerajaan tapi ketika raja muda kembali di Tahun 1660 memantik konflik baru. Sultan dan Laksamana Tun Abdul Jalil menentang kehadiran putri Jambi. Di dorong dengan ketidak senangan tersebut maka pada Tahun 1666 terjadi pemutusan perkawinan. Putra mahkota kerajaan dikawinkan dengan putri Laksamana Johor. Pemutusan diplomasi perkawinan ini meluncurkan ke dua kerajaan ke dalam perang yang kronis.
Ketegangan Jambi Johor memakan waktu lama dan dalam masa itu tetap ada kecenderungan mengadakan perdamaian yang menempatkan VOC Belanda sebagai perantara. Perundingan yang di fasilitasi Belanda pada Tahun 1673 gagal karena Sultan Abdul Jalil menuntut penyerahan Jambi. Lantas Jambi menyerbu Batu Sawar sehingga Sultan Abdul Jalil III mengungsi ke Pahang (D. G. E. Hall 1988 dan Sartono, 1993). Dalam penyerangan tersebut ternyata Belanda yang bersekutu dengan Johor untuk menyerang Portugis di Melaka, ikut membantu Jambi sebagai balas jasa sultan Abdul Jalil Jambi membantu perdamaian antara Belanda dengan Banten di Tahun 1659. Diantara kerabat kerajaan yang ditawan dan dibawa ke Jambi, ketika wafat dimakamkan di Teluk Kuali yang dikenal dengan Makam Pulau Johor (Lukman Rahman, Depdikbud, 1983).
Secara keseluruhan penguasaan Johor terhadap Jambi di abad 15 – 17 dimungkinkan atas dasar :
a. Adanya situasi kekosongan pengawasan wilayah Jambi akibat peralihan pusat kerajaan Jambi pada ekspansi Singosari Tahun 1275 yang dikenal sebagai Pamalayu, sehingga praktis perairan pantai Jambi seperti tak bertuan karena pusat kerajaan berpindah ke pedalaman DAS Batanghari yaitu Darmasraya dan Pagaruyung.
b. Posisi Jambi yang berada di jalur pelayaran yang ramai dan pelabuhannya merupakan tempat persinggahan yang vital karena alur angin muson dari laut Cina Selatan (yang sampai saat ini masih dirasakan ketika kita berada dalam jalur penerbangan Palembang Jambi), membawa dan mendorong layar-layar kapal ke arah pantai Jambi. I-Tsing dari Tiongkok ke India atau sebaliknya singgah di Jambi untuk transit menunggu kapal di abad ke 7. Singosari pun menempatkan Jambi sebagai benteng terdepan menghadang Khubilai Khan. Dengan menguasai Jambi dapat dikatakan menjadi simbol penguasaan pelayaran atau setidak-tidaknya alur pelayaran dan perdagangan dapat di awasi yang dengan sendirinya akan memberi keuntungan ganda bagi kerajaan yang menguasainya.
c. Konflik dan ketegangan Jambi Johor juga di dorong oleh interfensi pihak luar ring kerajaan. Sebagian konflik itu dapat pula di manfaatkan oleh VOC Belanda dalam bentuk keberpihakkan yang melahirkan berbagai kontrak perjanjian monopoli, pengawasan dan sebagainya.
d. Politik perkawinan yang dapat merekat ke dua kerajaan tidak sepenuhnya langgeng. Masuknya intrik kepentingan dapat meruncingkan situasi di kedua belah pihak Johor Jambi atau sebaliknya.
e. Kendati dinamisasi hubungan terkadang rendah, ternyata rakyat Johor dan Jambi terlah membaur yang melahirkan keturunan (diaspora) melayu suku Biduanda, Makam Pulau Johor, Kampung Tanjung Johor dan sebagainya.
Hubungan Jambi Johor Abad 18 – 20
Perubahan pemegang kekuasaan di Johor yaitu ketika Sultan Abdul Jalil wafat Tahun 1677 di Pahang, pengantinya yaitu Sultan Ibrahim Syah berkedudukan di Riau. Pada Tahun 1685 Sultan Ibrahim mangkat dan digantikan Sultan Mahmud Syah II yang ketika itu masih berusia 10 tahun sehingga pemerintahan dilaksanakan oleh Paduka Raja Tun Abdul Jamil yang berkedudukan di Johor. Sepeninggal Tun Abdul Jamil kekuasaan di kerajaan Johor beralih pada Bendahara Sri Maha Raja yaitu Tun Habib Abdul Madjid.
Tampaknya sampai di penghujung abad ke 17 masih terjadi konflik interen yang berkepanjangan yang membuat kesultanan Johor-Riau mengalami instabilitas (Sindu Galba, 2001). Bahkan ada ancaman eksternal dari Raja Kecik Minangkabau yang mengklaim sebagai pewaris kesultanan Johor-Riau dari putra Sultan Mahmud Mangkat Dijulang dengan istrinya Encik Pong. Raja Kecik kemudian berhasil menguasai dan menobatkan diri sebagai Sultan Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah pada Tahun 1718.
Dalam perkembangannya kemudian, kesultanan Johor terpecah belah dan Raja Kecik membangun pusat kerajaannya di Siak. Sementara itu anak Bendahara Abdul Jalil yaitu Tengku Sulaiman membangun kembali kekuasan Johor terlepas dari raja Kecik dengan bantuan orang-orang Bugis yang dipererat dengan ikatan perkawinan. Tahun 1722 Tengku Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Johor-Riau dan bangsawan Bugis Daeng Marewa sebagai Yang Dipertuan Muda.
Konflik-konflik dilingkungan istana dan penguasa kesultanan yang menyebabkan perpecahan dimanfaatkan Belanda dan Inggris untk menguasai Melaka dan Singapura. Sementara itu Kesultanan Riau-Johor berubah menjadi Riau Lingga yang wilayahnya meliputi Johor, Riau, Lingga, Singapura dan Pahang (Sindu Galba , 2001).
Adanya interfensi Inggris dan Belanda telah memecah kesultanan Riau – Lingga menjadi dua kesultanan yaitu kesultanan Riau dan Singapura. Nasib kerajaan melayu Riau-Lingga dan Singapura ini ditentukan Traktat London Tahun 1824. Praktis daerah Johor, Singapura, Trenggano dan Pahang yang sebelumnya menjadi bagian kesultanan Melayu Johor, Singapura menjadi di bawah kendali Rafles (Inggris). Sedangkan Riau, Lingga dan Singkep sebagai warisan kesultanan Melayu Johor-Riau menjadi kesultanan Riau-Lingga yang berada dalam kendali Belanda.
Berkat strategi Rafles yang membangun Singapura dengan mendatangkan orang India dan Cina yang dikenal ulet dan rajin berusaha. Perkembangan Singapura ini pun kemudian menjadi besi berani bagi perkembangan daerah-daerah disekitarnya terutama Johor.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Fahruddin (1833-1841) hubungan kesultanan Jambi dan Johor tampaknya ada perubahan. Suasana ketegangan tidak lagi terasa. Putra sultan yaitu Raden Thaha diutus berkelana ke negeri Jiran dengan tujuan menjalin hubungan mesra, menghimpun dan mempererat tali persahabatan terutama dalam menghadapi ekspansi penguasaan Belanda. Persahabatan ini sangat memberi arti bagi perjuangan ketika Raden Thaha berkuasa sebagai Sultan Thaha Saifuddin (1855-1904) mengangkat senjata dan melakukan perlawanan terhadap penguasaan Belanda (Junaidi, 2007).
Pada masa perlawanan Sultan Thaha Saifuddin, Belanda senantiasa mengintai kesempatan untuk menyerang keberadaan Sultan di pedalaman menyusul pembumihangusan istana Tanah Pilih Jambi di Tahun 1858. Berbagai perjanjian perdamaian tidak pernah ditanggapi Sultan seperti yang diharapkan Belanda. Demikian juga dengan ultimatum agar Sultan menyerah tahluk kepada Belanda, sama sekali tidak menyurutkan perlawanan demi perlawanan terhadap Belanda.
Berkat perjalanan muhibahnya dimasa remaja dan ketika menjadi Pangeran Ratu, Sultan Thaha Saifuddin semakin menggalang kerja sama dengan perwakilan dagang asing di Singapura untuk memasok persenjataan melalui utusan-utusannya di bawah koordinasi Pangeran Wirokusumo yang berkedudukan di Jambi. Melalui perwakilan kerajaanTurki di Singapura Sultan Thaha Saifuddin mengirim surat untuk meminta bantuan. Masa itu Kesultanan Turki sangat di segani di Eropa sehingga diharapkan melalui wibawa kerajaan dapat menekan Belanda. Pada awal 1898 Sultan Kembali mengutus dutanya langsung ke Turki tetapi tertahan cukup lama di Singapura menanti kapal dan perbekalan untuk ke Turki.
Sementara itu kedudukan Sultan Thaha di pedalaman semakin sempit oleh perluasan patroli-patroli Belanda baik yang dikirim dari Jambi maupun bantuan dari Palembang. Pasukan Belanda dari Palembang langsung mendirikan benteng di Muara Tembesi tanggal 21 Maret 1901. Sultan menyadari dengan pembangunan benteng Belanda di Muara Tembesi tersebut serangan-serangan Belanda akan semakin gencar dan pencarian posisi Sultan semakin di perketat. Demi kelancaran perlawanan dan perlindungan terhadap keluarganya, Sultan kemudian mengungsikan sanak keluarga dan pengikutnya dalam 2 periode ke Johor.
Pengungsian pertama melalui sungai Alai, Muara Tebo menembus hutan Merlung laju ke Siak Indragiri. Dari Siak diteruskan menuju Kuala Kampar dan menyeberang dengan tongkang menuju Lubuk negeri Johor. Perjalanan pengungsian itu rupanya memakan waktu lama dan di suatu persinggahan sempat membuka perladangan. Setelah 5 tahun para pengungsi dari Jambi di Lubuk, maka atas perkenan Sultan Johor di masa itu orang Jambi mendapat satu kawasan hutan di sekitar Tanjung Semberong Batu Pahat sebagai lahan usaha perkebunan karet (getah) dan pemukiman. Para pengungsi dari Jambi itu antara lain (Zulkifli Nurdin, 2000) :
1. Raden Muhammad Yasin, putra Raden Hamzah sebagai pimpinan.
2. Penghulu Haji Ali dari dusun Teluk yang merupakan orang yang di cari-cari Belanda.
3. Saripah Dempak.
4. Ratu Mas Badaniah binti Sultan Thaha Saifuddin seorang janda dengan 2 orang anak, satu diantaranya bernama Raden Haji Bagong (Raden Abdur Rahman) serta belasan orang pengungsi lainnya beserta anak-anaknya.
Pengungsian ke dua terjadi setelah perang Tembesi Tahun 1901. Rute perjalanan pengungsian mengikuti rute yang pertama dan dengan kapal tongkang menyeberang menuju Batu Pahat. Ditengah sungai Batu Pahat tongkang yang mereka tumpangi kandas dan pecah. Peristiwa ini diabadikan daerah itu disebut daerah Tongkang Pecah. Secara bertahap pemukiman pengungsi Jambi meluas sampai ke Sungai Biuh, Segamat dan sekitarnya. Sampai saat ini pemukiman penduduk asal Jambi ada yang bernama dan di kenal sekarang diantaranya sebagai Parit Jambi dan Kampung Haji Muhammad Jambi.
Utusan ke Turki yang berangkat melalui Singapura terdiri dari H. Abdul Karim seorang Perdana Menteri Temenggung, Mukti (Hasyim), seorang ajudan (Abdullah ?) dan 2 orang kepala penghulu. Dalam catatan Jambi dalam sejarah Nusantara (A. Mukti Nasarudin, 1986) Pemuda (Abdullah ?) yang ikut rombongan tidak ikut pulang karena ia kemudian dilatih dan masuk tentara Turki sampai berpangkat Sersan dan ada yang menuntut ilmu agama di Mekahyaitu Abdullah Efendi yang kemudian pulang dan mengajar di Nurul Iman. Rombongan utusan ke Turki ketika kembali, Belanda telah berhasil menguasai Jambi dan Sultan Thaha Saifuddin gugur Tahun 1904. Para utusan dan keluarga pengungsi masuk daftar hitam Belanda dan menetap diantaranya di Kemaman dan Trengganu. Sebagai tanda pengunjungan utusan Jambi ke Turki, Sultan Turki memberikan sebuah medali emas dan piagam yang pada hari Rabu 10 April 2002 dilakukan penyerahan medali bintang penghargaan itu dari Engku Zubir bin Engku Ja’far, beralamat di Kemaman Trengganu sebagai pihak yang dipertanggung jawabkan menjaga bintang tersebut kepada pemerintah daerah Provinsi Jambi yang disaksikan oleh waris Temenggung H. Abdul Karim bin Haji Basha yaitu datuk Haji Muhammad bin Haji Abdul Aziz Ahli Parlemen Malaysia.
Dengan terbukanya dan semakin baik keadaan Jambi maka beberapa pemuka agama dari Johor datang dan bermukim di Kota Jambi atau di beberapa tempat lainnya antara lain adalah Syekh Muh. Aripin Banafiq yang bermukim dan menyebarkan ajaran agama Islam di Teluk Majelis (Tanjung Jabung Timur). Kepakaran beliau tampak ketika disuatu saat pasukan Belanda akan menggempur desa Teluk Majelis, ternyata Belanda tidak menemukannya. Desa Teluk Mejelis seolah-olah terselubung oleh kekuatan gaib sehingga tidak terlihat oleh pasukan Belanda. Bukti nyata ini melahirkan keyakinan masyarakat sekitar Syekh Muh. Aripin Banafiq adalah orang dikeramatkan. Ketika beliau wafat Tahun 1961 makamnya tetap dikeramatkan. Dari keterangan ahli waris, beliau dari Johor Baru dan tanah kebun karet (getah) seluas 2 ha disana telah diganti rugikan oleh pemerintah untuk keperluan pelabuhan.
Penutup
Dari uraian tersebut di atas maka dapat dibuat beberapa kesimpulan :
1. Pada masa lampau telah terjain hubungan kekerabatan, ekonomi perdagangan dan kepemerintahan antara Jambi dengan Malaka dan Johor. Walau dalam hubungan tersebut terjadi fluktuasi akibat adanya intrik dan interfensi dari pihak-pihak di lingkungan istana atau kerajaan serta pengaruh dekolonisasi Belanda dan Inggris.
2. Di negeri Johor Malaysia terdapat keturunan Sultan Jambi dan pengikutnya yang banyak bermukim di Batu Pahat (Tanjung Semberung, Sungai Liuk, Segamat dan sekitarnya) Kemaman Trengganu Malaysia.
3. Dalam masa kini hubungan antara dua kerajaan Johor dan Jambi telah dirangkai dengan segitiga pertumbuhan SIJORI (Singapura, Johor dan Riau), IMT/GT (Indonesia, Malaysia dan Thailand, Growth Triangle) dimana di dalamnya ikut Jambi sebagai anggota.
4. Untuk meneruskan hubungan baik diperlukan suatu pembentukan kerja sama serantau serumpun dalam segala bidang kehidupan baik melalui saling berkunjung (muhibah), kekeluargaan, sosial ekonomi dan lain-lainnya sebagai wujud merajud kesatuan kesejarahan dan kemajuan bumi melayu yang tak pernah hilang di bumi.
5. Gagasan kota kembar Jambi – Johor yang pernah dilontarkan kepada rombongan Arkeolog Malaysia di Pimpin Prof. DR. Nik Hasan Suhaimi Tahun 1992, perlu dikaji mantapkan kembali.
HILIR BERHILIR SEKUNAR BELIA
SAMPAILAH JUA DI NEGERI TUJUAN
SAYA HADIR DI SEMINAR YANG MULIA
MEMBENTANG MAKALAH BAGI TUAN DAN PUAN
POHON SIALANG BERDAHAN-DAHAN
LEBAH BEGAYUT DIAMBIL MADU
KITA GALANG PERSATUAN DAN KESATUAN
LEBIH MERAJUT SERUMPUN MELAYU
SELAT BERHALA MEMBELAH LAUTAN
DARA KUANTAN MEMBAWA JUADAH
HELAT MULIA LAH TERSELENGGARAKAN
SEMOGA TUHAN MELIMPAHKAN BERKAH
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, salam...