ATL, Asosiasi Tradisi Lisan, adalah lembaga non profit yang bergerak dalam bidang tradisi lisan. Awalnya disebut Proyek Tradisi Lisan Nusantara dan didirikan tahun 1992. ATL mempublikasikan teks-teks yang merupakan hasil transkripsi tradisi lisan.
Tahun 1993 Proyek ini menyusun seminar internasional mengenai tradisi lisan, bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dan Ford Foundation. Lembaga non profit ATL ini sudah membentuk cabang di semua daerah. Sejak 1993 secara berkala melakukan seminar internasional dengan aneka tema tergantung perkembangan tradisi lisan. Seminar mendatang (19-22 Desember) digelar di Bangka Belitung.
Turun Temurun
Ibu Dafirah Asad, bapak Muhamad Amin Abdullah dan bapak Asrif adalah tiga dari delapan peniliti tradisi lisan Indonesia yang berada di Belanda untuk mencari data tambahan.
Dihidupkan Kembali
Mengingat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tradisi lisan, maka masih banyak karya budaya yang tersimpan dalam bentuk lisan. Untuk menyelamatkan tradisi ini timbullah program untuk menggali pengetahuan masyarakat melalui kajian tradisi lisan, karena kajian naskah dalam bidang ini belum ada, tentunya.
Bencana Aceh misalnya, ternyata sudah banyak diprediksikan secara lisan oleh masyarakat lokal. Musibah Merapi: menurut tradisi lisan orang Jawa, kalau binatang turun dari gunung, itu mempratandakan musibah. Dan ilmu ini hanya tersimpan dalam memori, tidak ditemukan dalam buku-buku. Karena itu, sangat penting kajian tradisi lisan ini dihidupkan kembali.
Sumber Pengetahuan
Tradisi lisan bisa menjadi sumber pengetahuan dan oleh karena itu kita akan lebih arif melihat masyarakat kita. Tradisi lisan bisa menjadi perspektif untuk melihat ke depan. Tapi yang penting terlebih dahulu mengumpulkan datanya. Berarti bisa dipakai dalam kajian pembangunan, karena saat ini Indonesia terlalu mengikuti pola negara tetangga, padahal kita memiliki kelisanan yang lebih cocok.
Muatan Lokal
Di samping melakukan seminar-seminar internasional, ATL juga menerbitkan buku dan bekerjasama dengan Yayasan Obor. Penerbitan buku adalah salah satu upaya revitalisasi tradisi lisan, di samping melakukan pendampingan penutur itu sendiri.
Membuat generasi masa kini antusias terhadap tradisi lisan, adalah pekerjaan rumah yang berat bagi ATL. Mereka bisa dijangkau melalui buku.
Bangga dan Percaya Diri
Bapak Asrif yang meneliti 'Nyanyian Tradisonal Kabanti: Hakikat Penciptaan, Kelisanan dan Seni Pertunjukan', mengatakan bahwa dampak revitalisasi tardisi lisan di Wakatobi membuat masyarakat loka merasa percaya diri dan bangga karena budaya mereka dipandang tinggi oleh orang lain. Tradisi ini menjadi sumber identitas dan kesejahteraan masyarakat lokal. Itu adalah salah satu efek kegiatan seminar ATL.
Tradisi lisan, kata ibu Dafirah Asad, yang meneliti 'Tradisi Lisan Didek dalam Masyarakat Selayar', adalah kebiasaan orang-orang dahulu menyampaikan sesuatu secara tidak tertulis. Penyampaiannya berlangsung turun-temurun. Di masa kini pewarisan turun temurun itulah yang menjadi masalah, mungkin karena pengaruh tradisi tulis yang lebih kuat.
Bapak Muhamad Amin Abdullah, yang meniliti tradisi lisan dalam musik ('Pengaruh Kebijakan Politik/Kebidayaan terhadap Budaya gong di Sulteng'), mengatakan berbeda dari tradisi musik klasik Eropa barat, yang mewariskan musik melalui partitur, musik Indonesia justru mewariskannya secara lisan. Pewarisan dilakukan dalam kelompok kerabat, kelompok spesifik. Berarti ada hal-hal tertentu yang tidak bisa diwariskan secara luas. Tradisi lisan dalam musik dipelajari oleh para etnomusikologi, ilmu perpaduan antara musik dan antropologi.
Dengan menghidupkan kembali tradisi lisan, back to basics, di zaman digital ini, bukan berarti kita menolak globalisasi; kita justru harus berpijak dari latar belakang lisan itu dan mencari titik temunya dengan zaman moderen ini. Bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi globalisasi, adalah pertanyaan penting yang tentu jawabannya berbeda dari misalnya jawaban orang Australia. Kalau kita benar-benar mengetahui kebudayaan kita melalui kajian-kajian tradisi lisan, maka kita mempunyai landasan yang kuat untuk menghadapi globalisasi itu.
Mantra, nyayian rakyat, lagu-lagu permainan anak-anak (lagu dolanan) termasuk tradisi lisan dan itu harus diolah dan dikaji. Para peniliti optimis dengan kajian tradisi lisan ini Indonesia tidak akan kehilangan identitasnya. Muatan lokal tradisi lisan sudah mulai ada, jadi anak-anak muda sudah mulai mengenal tradisi lisan ini melalui pendidikan.. Dengan beasiswa dan kerjasama dengan DIKTI ATL kerjasama dengan dunia akademisi supaya ada peniliti tradisi lisan berikutnya.
Yang penting bagaimana tradisi lisan ini bisa aktif kembali di kalangan masyarakat lokal: melalui pendidikan dan pertunjukan.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, salam...