Selasa, 30 Oktober 2012

Catatan Kecil Mengenai Eksotisme dan Sastra

Oleh: Tommy. Christomy, Ph.D.*

Eksotisme (excotisme) secara harfiah adalah sesuatu yang  ‘aneh’ atau belum ‘terfahami’.  Menurut kamus, exoticism is the quality of seeming unusual or interesting, usually because of associations with a distant country” (Cobuild) . Eksotisme adalah suatu keadaan yang tidak biasa atau sesuatu yang menarik perhatian, biasanya karena keterkaitannya dengan suatu negeri yang jauh. 

Setakat ini, persoalan eksotisme yang saya fahami lebih banyak terkait dengan persoalan-persoalan gagasan dan sudut pandang yang terkait dengan praktik kolonial. Karena sudut pandang sifatnya subjektif, atau setidaknya sangat dipengaruhi latar belakang sosial budaya seseorang, eksotisme dianggap sebagai sebuah bangun perpsektif tertentu. Persoalannya, tidak semua pihak sadar pada persoalan sudut pandang ini dan acap begitu saja menerima perspektif yang telah terumuskan bangsa lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Edward Said (1995:87—91). Menurutnya orientalisme mengekspresikan dan merepresentasikan baik secara kultural maupun ideologis wacana-wacana yang  berkaitan dengan khasanah pengetahuan, citra, doktrin dan bahan birokrasi dan gaya hidup kolonial. Mengikuti cara pandang seperti ini, wacana kolonial dianggap telah ikut serta membangun realitas kesusastraan. Dalam catatan singkat ini akan dipaparkan beberapa ilustrasi mengenai bagaimana wacana kolonial mengenai ‘eksotisme’ bersinggungan dengan kehidupan sastra kita. Tulisan singkat ini sebagai bahan diskusi lebih lanjut mengenai eksotisme dalam sastra Indonesia.

            Portugis masuk ke Nusantara abad 15 dan setelah itu, gelombang demi gelombang seperti tak terbendung:  Spanyol, Belanda, dan Inggris turut meramaikan Nusantara.  Kedatangan mereka ke Nusantara sudah barang tentu membutuhkan bahan bacaan yang terkait dengan tujuan kehadiran mereka di sini. Mulailah diantara mereka mengumpulkan naskah-naskah yang berkaitan dengan sastra, sejarah, keagamaan, dan genre lainnya dari berbagai daerah yang ada di Nusantara. Pada awalnya, mereka datang ke Nusantara sebagai bagian dari gejolak ‘menemukan dunia baru’, suatu kegiatan eksplorasi besar-besaran yang dilakukan oleh seluruh kerajaan di eropa barat terutama setelah mereka memenangkan ‘crusader’  atau perang salib yang mendorong Islam mundur. Sebagian mereka ada yang mampu merambah Amerika dan sebagian lain bisa tembus sampai India dan kemudian ke Nusantara lewat laut. Para pedagang  yang kemudian menjelma penjajah tersebut membangun koloni-koloni mereka sambil membawa sebagian keluarga, tatanan sosial dan budaya mereka. Kehadiran perjalanan eksplorasi kolonial seperti itu tentu juga berpengaruh bagi kebudayaan yang sudah ada.

Untuk memahami kebudayaan setempat para peneliti Belanda di masa awal, misalnya, banyak mengumpulkan naskah-naskah sastra  dan menerjemahkannya. Awalnya mereka mengumpulkan  benda-benda budaya (material culture) tapi kemudian mereka juga banyak mencatat bahasa dan kesusastraan kita. Pada mulanya untuk keperluan pengajaran kompeni yang akan ditempatkan di beberapa daerah di Nusantara, lama kelamaan merambah ke ekspresi budaya lainnya. Kegitan mereka itu kemudian dikumpulan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang didirkan di Batavia pada tahun 1778 yang kemudian berubah menjadi, "Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia", Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen  pada tahun 1990. ,"Ikatan Kesenian dan Ilmu Kerajaan di Batavia”. Melalui lembaga inilah para peneliti dan peminat kebudayaan Indonesia menyampaikan dan mengumpulkan temuannya.

Di wilayah jajahan Inggris yang perlu saya sebut di sini adalah R.O. Winsted. R.O. Winsted lulusan Oxford yang pada tahun 1902 ditempatkan di Perak, Semenanjung Malaysia, selain menjadi administrator dia juga punya ketertarikan pada ilmu sastra. Selama di Malaysia itulah kemudian dia menulis sebuah buku yang sangat penting dengan judul Malay Literature (1907). Berbeda dengan penulis Belanda yang lebih banyak mengumpulan bahan-bahan tertulis dan folklor dari seluruh kepulauan Nusantara, Sir Richard Winsted seperti ditulis oleh E. C. G. Barrett,  dalam "Obituary: Sir Richard Winstedt", Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 30, No. 1, 1967, pp. 272–275, menyebutkan bahwa dialah salah satu ilmuwan Inggris pertama yang telah melakukan kajian sistematis terhadap kebudayaan Melayu khususnya sastra melayu. Bukunya yang Malay Literature (1907) mempunyai pengaruh cukup penting dalam studi kesusastraan Melayu. Kendati  kemudian banyak dikritik, dan pikiran-pikirannya tentang sastra mulai ditinggalkan, peneliti sastra Nusantara tidaklah mungkin tidak membaca karya dia sebelumnya.  Pendapat yang kemudian mendapat banyak kritik adalah cara dia melihat karya sastra Melayu dengan perspektif kolonial. Menurutnya, karya sastra Melayu tidak seperti ‘punya kita’ dan nilainya sangat ‘buruk’ jika dibandingkan dengan karya sastra Eropa.

Di satu sisi, seperti halnya pandangan para intelektual kolonial lainnya, karya sastra dianggap sebagai bagian yang eksotis dan  layak diperkenalkan ke dunia Barat. Pada saat yang sama dia juga ‘menilai’ karya sastra nusantara sebagai lebih rendah dari sastra Eropa dalam hal estetika dan gaya. Pendapat seperti itu sudah barang tentu menjadi bagian yang syah darinya sebagai kepanjangan dunia pengetahuan barat yang ingin mengetahui apa-apa yang ada di dunia timur. Namun, hal itu menjelaskan kontradiksi pikiran-pikiran kolonial atas khasanah sastra kita.

Ketika sistem percetakan ditemukan terjadi revolusi besar-besaran dan mengubah cara karya sastra disebarkan. Kalau semula hanya disalin dengan tulisan tangan, pada abad 19 karya sastra telah dicetak dan diterbitkan. Pengaruhnya sangat besar pada dunia sastra. Selain penulis tidak lagi anonim, karya sastra telah masuk ke dunia industri dengan segala macam kaidahnya. Di sini pertimbangan-pertimbangan baru mengenai karya sastra kemudian muncul. Pada abad 18/19 yang paling siap menyongsong industri penerbitan adalah masyarakat peranakan karena status sosial ekonomi mereka yang setingkat lebih tinggi dari orang kebanyakan. Maka tidaklah mengherankan di masa-masa ini banyak penulis peranakan menulis kisah ‘abu-abu’ di surat kabar, yakni cerita-cerita yang tidak termasuk pada kategori ‘berita’ tapi kisah yang mereka sebut “ini kisah jang beteol-betoel terjadi”. Kisah-kisah mereka disurat kabar Batavia itu menjadi cikal bakal sastra .

Ketika penulis pribumi kemudian punya kesempatan menerbitakan karya-karya dalam sistem penerbitan ‘gaya baru’ dengan aroma kapitalisme melalui Balai Pustaka, dengan sangat yakin, pihak kolonial merasa mampu membagi dua dunia sastra: sastra yang ‘utama’ dan sastra yang diluar sistem tata nilai mereka yang disebut ‘picisan’. Pada taraf ini eksotisme yang menjadi titik tolak mereka telah ditransformasikan lebih lanjut sebagai upaya untuk mengontrol dan mengarahkan kehidupan sastra Indonesia. Upaya kolonial tidak bertepuk sebelah tangan karena segera mendapat sambutan dari penulis Nusantara.  Dampak dari kebijakan sastra kolonial begitu penting pada perkembangan sastra kita. Dia tidak hanya memperkenalkan genre sastra baru (roman atau novel) tapi mengubah pandangan mengenai bagaimana seharusnya kita membuat dan menikmati sastra.

 * Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia 


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, salam...

    Kategori

    Tentang ATL

    Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi merupakan wadah sekumpulan orang-orang yang prihatin terhadap tradisi yang semakin lama semakin berkurang para penuturnya. Sekarang kami bermarkas di Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Silakan kontak kami di email atl_jambi@yahoo.com

    Pengelola

    Pemerhati