Oleh: Tommy. Christomy, Ph.D.*
Eksotisme (excotisme) secara harfiah adalah sesuatu
yang ‘aneh’ atau belum ‘terfahami’. Menurut kamus, “exoticism is the quality of seeming unusual or interesting,
usually because of associations with a distant country” (Cobuild) . Eksotisme
adalah suatu keadaan yang tidak biasa atau sesuatu yang menarik perhatian,
biasanya karena keterkaitannya dengan suatu negeri yang jauh.
Setakat ini,
persoalan eksotisme yang saya fahami lebih banyak terkait dengan
persoalan-persoalan gagasan dan sudut pandang yang terkait dengan praktik
kolonial. Karena sudut pandang sifatnya subjektif, atau setidaknya sangat
dipengaruhi latar belakang sosial budaya seseorang, eksotisme dianggap sebagai
sebuah bangun perpsektif tertentu. Persoalannya, tidak semua pihak sadar pada
persoalan sudut pandang ini dan acap begitu saja menerima perspektif yang telah
terumuskan bangsa lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Edward Said
(1995:87—91). Menurutnya orientalisme mengekspresikan dan merepresentasikan
baik secara kultural maupun ideologis wacana-wacana yang berkaitan dengan khasanah pengetahuan, citra,
doktrin dan bahan birokrasi dan gaya hidup kolonial. Mengikuti cara pandang seperti
ini, wacana kolonial dianggap telah ikut serta membangun realitas kesusastraan.
Dalam catatan singkat ini akan dipaparkan beberapa ilustrasi mengenai bagaimana
wacana kolonial mengenai ‘eksotisme’ bersinggungan dengan kehidupan sastra
kita. Tulisan singkat ini sebagai bahan diskusi lebih lanjut mengenai eksotisme
dalam sastra Indonesia.
Portugis masuk ke Nusantara abad 15
dan setelah itu, gelombang demi gelombang seperti tak terbendung: Spanyol, Belanda, dan Inggris turut
meramaikan Nusantara. Kedatangan mereka
ke Nusantara sudah barang tentu membutuhkan bahan bacaan yang terkait dengan
tujuan kehadiran mereka di sini. Mulailah diantara mereka mengumpulkan
naskah-naskah yang berkaitan dengan sastra, sejarah, keagamaan, dan genre
lainnya dari berbagai daerah yang ada di Nusantara. Pada awalnya, mereka datang
ke Nusantara sebagai bagian dari gejolak ‘menemukan dunia baru’, suatu kegiatan
eksplorasi besar-besaran yang dilakukan oleh seluruh kerajaan di eropa barat
terutama setelah mereka memenangkan ‘crusader’ atau perang salib yang mendorong Islam
mundur. Sebagian mereka ada yang mampu merambah Amerika dan sebagian lain bisa
tembus sampai India dan kemudian ke Nusantara lewat laut. Para pedagang yang kemudian menjelma penjajah tersebut membangun
koloni-koloni mereka sambil membawa sebagian keluarga, tatanan sosial dan
budaya mereka. Kehadiran perjalanan eksplorasi kolonial seperti itu tentu juga
berpengaruh bagi kebudayaan yang sudah ada.
Untuk memahami kebudayaan
setempat para peneliti Belanda di masa awal, misalnya, banyak mengumpulkan
naskah-naskah sastra dan
menerjemahkannya. Awalnya mereka mengumpulkan
benda-benda budaya (material
culture) tapi kemudian mereka juga banyak mencatat bahasa dan kesusastraan
kita. Pada mulanya untuk keperluan pengajaran kompeni yang akan ditempatkan di
beberapa daerah di Nusantara, lama kelamaan merambah ke ekspresi budaya
lainnya. Kegitan mereka itu kemudian dikumpulan di Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang didirkan di Batavia pada tahun
1778 yang kemudian berubah menjadi, "Ikatan Kesenian dan Ilmu
Batavia", Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen pada tahun 1990. ,"Ikatan
Kesenian dan Ilmu Kerajaan di Batavia”. Melalui lembaga inilah para peneliti
dan peminat kebudayaan Indonesia menyampaikan dan mengumpulkan temuannya.
Di wilayah jajahan Inggris yang
perlu saya sebut di sini adalah R.O. Winsted. R.O. Winsted lulusan Oxford yang
pada tahun 1902 ditempatkan di Perak, Semenanjung Malaysia, selain menjadi
administrator dia juga punya ketertarikan pada ilmu sastra. Selama di Malaysia
itulah kemudian dia menulis sebuah buku yang sangat penting dengan judul Malay
Literature (1907). Berbeda dengan penulis Belanda yang lebih banyak mengumpulan
bahan-bahan tertulis dan folklor dari seluruh kepulauan Nusantara, Sir Richard
Winsted seperti ditulis oleh E. C. G. Barrett,
dalam "Obituary: Sir Richard Winstedt", Bulletin of the
School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 30, No.
1, 1967, pp. 272–275, menyebutkan bahwa dialah salah satu ilmuwan Inggris
pertama yang telah melakukan kajian sistematis terhadap kebudayaan Melayu
khususnya sastra melayu. Bukunya yang Malay
Literature (1907) mempunyai pengaruh cukup penting dalam studi kesusastraan
Melayu. Kendati kemudian banyak dikritik,
dan pikiran-pikirannya tentang sastra mulai ditinggalkan, peneliti sastra
Nusantara tidaklah mungkin tidak membaca karya dia sebelumnya. Pendapat yang kemudian mendapat banyak kritik
adalah cara dia melihat karya sastra Melayu dengan perspektif kolonial.
Menurutnya, karya sastra Melayu tidak seperti ‘punya kita’ dan nilainya sangat
‘buruk’ jika dibandingkan dengan karya sastra Eropa.
Di satu sisi, seperti halnya pandangan
para intelektual kolonial lainnya, karya sastra dianggap sebagai bagian yang
eksotis dan layak diperkenalkan ke dunia
Barat. Pada saat yang sama dia juga ‘menilai’ karya sastra nusantara sebagai
lebih rendah dari sastra Eropa dalam hal estetika dan gaya. Pendapat seperti
itu sudah barang tentu menjadi bagian yang syah darinya sebagai kepanjangan
dunia pengetahuan barat yang ingin mengetahui apa-apa yang ada di dunia timur.
Namun, hal itu menjelaskan kontradiksi pikiran-pikiran kolonial atas khasanah
sastra kita.
Ketika sistem percetakan
ditemukan terjadi revolusi besar-besaran dan mengubah cara karya sastra
disebarkan. Kalau semula hanya disalin dengan tulisan tangan, pada abad 19
karya sastra telah dicetak dan diterbitkan. Pengaruhnya sangat besar pada dunia
sastra. Selain penulis tidak lagi anonim, karya sastra telah masuk ke dunia
industri dengan segala macam kaidahnya. Di sini pertimbangan-pertimbangan baru
mengenai karya sastra kemudian muncul. Pada abad 18/19 yang paling siap
menyongsong industri penerbitan adalah masyarakat peranakan karena status
sosial ekonomi mereka yang setingkat lebih tinggi dari orang kebanyakan. Maka
tidaklah mengherankan di masa-masa ini banyak penulis peranakan menulis kisah
‘abu-abu’ di surat kabar, yakni cerita-cerita yang tidak termasuk pada kategori
‘berita’ tapi kisah yang mereka sebut “ini kisah jang beteol-betoel terjadi”.
Kisah-kisah mereka disurat kabar Batavia itu menjadi cikal bakal sastra .
Ketika penulis pribumi kemudian
punya kesempatan menerbitakan karya-karya dalam sistem penerbitan ‘gaya baru’
dengan aroma kapitalisme melalui Balai Pustaka, dengan sangat yakin, pihak
kolonial merasa mampu membagi dua dunia sastra: sastra yang ‘utama’ dan sastra
yang diluar sistem tata nilai mereka yang disebut ‘picisan’. Pada taraf ini
eksotisme yang menjadi titik tolak mereka telah ditransformasikan lebih lanjut sebagai
upaya untuk mengontrol dan mengarahkan kehidupan sastra Indonesia. Upaya
kolonial tidak bertepuk sebelah tangan karena segera mendapat sambutan dari penulis
Nusantara. Dampak dari kebijakan sastra
kolonial begitu penting pada perkembangan sastra kita. Dia tidak hanya
memperkenalkan genre sastra baru (roman atau novel) tapi mengubah pandangan
mengenai bagaimana seharusnya kita membuat dan menikmati sastra.
* Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, salam...