Oleh: Cin P. Hapsarin
Dalam Phaedrus, Plato sempat menggutip kata-kata Sokrates yang menentang tulisan. Katanya, tulisan merupakan bentuk artifisial dari bentuk sebenarnya yang terdapat dalam pikiran. Kedudukannya merupakan subtitusi dari kenangan yang pada akhirnya dikhawatirkan dapat melemahkan pikiran. Ini berbeda dengan dialog, sebab kata yang ditulis tidaklah responsif.[1]
Pengantar
Kedudukan yang lisan terhadap yang aksara memang kerap menjadi polemik, khususnya dalam ruang akademik, pembahasan sejarah. Demikian pula kiranya jika kita menengok Nusantara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, sebuah wilayah yang karakter masyarakatnya didominasi oleh struktur tutur yang kental. Pengetahuan di wilayah ini kerap diwariskan dari generasi ke generasi dengan cara tutur. Namun pertarungan budaya maupun skandal kekuasaan dan pengetahuan yang bergulir dari masa ke masa pada gilirannya menempatkan tradisi ini ke wilayah yang termarjinalkan.
1. Peralihan Yang Tutur ke Yang Aksara
Kehadiran kaum Nordik dan Islam ke Nusantara yang dimulai pada rentang abad 14-15 M telah mendorong logika sejarah yang sebelumnya bersifat sirkular ke arah arah yang linear. Situasi ini terutama terlihat dari bergeraknya pemahaman masyarakat akan ruang dan waktu.[2] Ekses dari perubahan ini adalah lahirnya pengerucutan pada satu sentrum kekuasaan di bawah pengusaan mondial. Hal ini tidak saja berlaku pada ruang keagamaan (Katholik di bawah Vatikan dan Islam di bawah Kekhalifahan Turki Utsmani) tetapi juga mengarah pada sistem perdagangan yang pada saat itu sedang dipertarungkan oleh para kaum kolonialis.
Masyarakat pada gilirannya menuai apa yang disebut dengan materialisme.[3] Jika pada masa sebelumnya agama bumi mendominasi pemahaman hingga pembagian kerja masyarakat, selanjutnya agama langit mengubah bentuk-bentuk tersebut menjadi lebih individualis. Penggerusan sistem mandala yang dilegitimasi oleh struktur kekuasaan baru ini (baca: Islam) pada gilirannya menciptakan pergeseran ruang yang merelokasi fungsi pranata sosial, terutama berkenaan keberadaan raja dan kelas menengah.[4] Di sini, sejarah menuturkan jika jantung peradaban bergerak membinasahkan yang tidak homogen, yang berarti tidak sejalan dengan penguasa. Sudah pasti jika kasus-kasus pertarungan ini tidak saja melibatkan kekuatan lama, yang sebelumnya establish, dengan kekuatan baru, tetapi juga melibatkan sesama kaum.[5]
Lahir beberapa perlawanan terhadap penguasa yang menindas ini. Tidak melulu dengan menggunakan kekuatan bersenjata, melainkan juga dengan membangun komunitas-komunitas yang semakin hari semakin merangsak masuk ke arah pedalaman, menjauhi sentrum kekuasaan. Kelompok-kelompok ini kemudian membanggun wacana tandingan. Beberapa diantaranya terwujud melalui cerita tutur, cerita tutur yang dituliskan dengan bahasa umum maupun cerita tutur yang ditulis dengan aksara maupun bahasa khusus. Sisanya diwujudkan dalam bentuk pertunjukan kesenian, permainan maupun ungkapan-ungkapan.[6]
Beberapa karya tertulis yang merupakan wacana tandingan dari generasi yang berbeda, antara lain: Kisah Ayuh (Sandayuhan) dan Bambang Basiwara,[7] resistensi masyarakat Dayak Meratus terhadap ortodoksi teks suci komunitas Islam Banjar; Tantu panggelaran, resistensi pengaruh India di Jawa; Serat Darmo Gandul Karya Ki Kalam Wadi, wujud resistensi Islamisasi di Jawa; kisah Ratu Adil (Erutjakra), perlawanan terhadap penjajah Belanda; cerita Kebo Iwa dalam sejarah kerajaan Bali Kuna sebagai perlawanan kekuasaan Hindu Jawa di Bali.[8] Contoh untuk wacana tanding yang tertulis dengan bahasa esoteris adalah skriptoria Merapi-Merbabu.[9]
Dalam perjalanannya, wacana tanding terus diproduksi sekaligus direproduksi. Di Jawa, penaklukan atas Dipanagara pada Perang Jawa (1825-1830) oleh pihak kolonial Belanda akhirnya secara ‘permanen’ menandai dominasi (baca: memberi legitimasi kultural) mereka atas Jawa. Masa yang memisahkan jaman ancient regime raja-raja Jawa dengan jaman kolonialisme Belanda ini secara penuh menandai akhir perlawanan Jawa.[10] Kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel (1830-1870) yang dibuat untuk menutupi pembengkakan pengeluaran pemerintah kolonial Belanda saat menghadapi Dipanagara pada gilirannya mendorong pemerintah kolonial untuk menyediakan tenaga terdidik murah yang berasal dari dalam negri. Didirikanlah Instituut voor de Javaansche Taal (Institut Bahasa Jawa) yang disponsori J.F.C. Gericke, seorang Misionaris Jerman yang dikirim oleh Nederlands Bijbelgenootschap tahun 1827.[11]
Pembentukan sentrum kebudayaan elit di Jawa tampaknya sengaja ditujukan untuk mengontrol penduduk jajahan dan menjauhkan mereka dari usaha perlawanan. Salah satu jalan yang dilakukan memang dengan membuat kanonisasi dan membuat bahasa Jawa Surakarta menjadi bahasa standar di seluruh sekolah modern Jawa. Esensi dari Javanologi sendiri tak lain dari menentukan bentuk atau watak dunia Jawa termasuk di dalamnya ilmu kejawen dan tradisi dunia tulisan dengan jalan damai. Dengan sastra dan budaya kaum kolonialis berharap perhatian rakyat dapat dibelokkan, utamanya setelah ‘kisruh’ pembagian empat kerajaan.[12]
Satu hal yang pokok, perjalanan sejarah pada rentang ini menjadi titik balik bagi mula terbentuknya masyarakat konsumen, menggeser kedudukan masyarakat produsen yang selama ini terbangun. Pola kebudayaan dan perkembangan masyarakat tidak lagi berada dalam satu aras yang sejalan dengan perkembangan teknologi yang melingkupinya. Terutama semenjak masuk dan dikenalnya teknologi barat.
Dalam situasi ini tidak berarti budaya tanding hilang begitu saja. Dari dalam keraton, upaya datang dari anak didik C. F. Winter sendiri, yakni pujangga penutup Jawa, R. Ng. Ranggawarsita. Dalam beberapa karyanya, Ranggawarsita berusaha menyampaikan kritik atas jalannya kekuasaan, misalkan saja lewat Serat Kalatida (Puisi Saat Kelam), yang ditulis menjelang kematiannya, 1873.[13] Namun, sejak tamatnya cultuurstelsel, peran bahasa Melayu kemudian menggeser kedudukan bahasa Jawa. Ini terutama karena kapitalisme-cetak menunjukkan terbukanya pasar dan minat yang besar bagi naskah cetak berbahasa Melayu. Adalah kelompok Cina Peranakan yang tak berbahasa Cina dan lahir di Indonesia yang menjadi unsur pokok perkembangan pasar ini.[14] Kontrol atas bahan cetak dilakukan oleh Balai Pustaka yang didirikan pemerintah Kolonial, 1917. Dapat dikatakan mulai periode inilah cerita tutur yang dibukukan menduduki posisi yang lebih dominan sebagai bahan kajian, meski tak urung kerap dinilai sekedar sebagai lelucon.[15]
Sampai dengan Indonesia merdeka, kedudukan tradisi tutur maupun wacana tandingan makin terpinggirkan. Situasi ini didorong oleh tingginya suhu politik yang diusung oleh gerakan pemuda. Fakta akar kebangsaan mensyaratkan kesatuan ekonomi, kesatuan administrasi politik dan kesatuan kebudayaan[16] menjadi hal tak tertolakkan yang mendudukkan tradisi tutur, prinsip lokalitas dan etnisitas dalam ruang yang makin sulit.
Nasionalisme dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dengan serta merta memberi jawaban atas berbagai problem yang ada. Rentang hingga jatuhnya Soekarno pada tahun 1965 adalah masa dimana setiap faksi maupun kelompok kepentingan berusaha untuk membentuk basis-basis kekuatannya sendiri. Hampir setiap ruang adalah ruang pertarungan, terutama semenjak nasionalisasi di akhir tahun 1950. Situasi ini menjadi semacam ajang lomba tiap kelompok kepentingan untuk menguasai aset strategis milik negara.
Kejatuhan Soekarno ditandai dengan banjir darah jutaan massa yang dianggap sebagai pengikutnya. Pasca itu, Soeharto memegang tampuk kekuasaan. Jargon bagi suksesi Orde Baru adalah pembangunan nasional yang mengarah pada pembentukan sentrum kekuasaan tunggal. Pada masa ini isue SARA (suku, ras dan agama) menjadi komoditas politik; bentuk masyarakat plural yang memang mendasari negara ini justru digunakan Orde Baru sebagai dalih untuk menumbuhkan stabilitas dengan model pendekatan sepihak yang cenderung manipulatif. Bagi Roode, hal tersebut tidak mengherankan sebab:
“Dalam masyarakat-masyarakat yang berciri kebudayaan homogen, kemampuan mencapai stabilitas politik dan demokrasi relatif tinggi. Sebaliknya, apabila masyarakat mempunyai keanekaragaman kebudayaan yang sangat jelas, maka sukar sekali memperoleh dasar bagi rasa kesamaan identitas, tujuan dan atau konsensus politik” (Rodee, 1988: 307).
Tidak hanya itu kedudukan tradisi tutur, yang kerap direpresentasikan sebagai bagian dari pengetahuan lokal dan etnisitas, tampaknya juga mendapat pukulan dari kecenderungan umum dalam memahami etnisitas secara teoritik.[17]
Kedudukan tradisi tutur baru kembali menguat setelah bergesernya rezim Orde Baru. Pada gilirannya, sejarah lisan mendapatkan celah terutama menjelang jatuhnya Soeharto. Penelitian terhadap korban pembantaian 1965/1966 di daerah Blora, Boyolali, Cilacap, Kendal, Klaten, Magelang, purwodadi, Purwokerto, Salatiga, Semarang, Sidoarjo, Temanggung, Wonosobo dan Jogja, yang dilakukan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 yang didirikan Sulami, eks Wakil Sekjen Gerwani, menjadi entry point bagi penelitian-penelitian sejarah lisan lainnya.[18] Mulai dari masa ini, angin yang berhembus mengisyaratkan hancurnya fragmen-fragmen beku yang selama ini mengitari sejarah konvensional yang berkiblat pada penguasa. Kesaksian mulai dilantunkan. Sejarah kembali mendengar suaranya yang hilang.
2. Tradisi Lisan Menyuara Sejarah Yang Samar
Kata tradisi cenderung dimaknai sebagai segala sesuatu yang berasal dari masa lampau. Kenyataannya tidaklah demikian. Tradisi tidak hadir sebagaimana adanya di masa lalu. Hobsbawm mengatakan jika tradisi pasti mengalami proses seleksi atau bongkar ulang sehingga ada yang dipopulerkan ataupun dipinggirkan tergantung pada relasi kekuasaan yang bermain di sekitarnya.[19] Andaian dimaknai sebagai sesuatu yang berasal dari masalalupun ia tidak bersifat tunggal. Tidak selamanya ia bermakna konservatif sebab di dalamnya juga terangkum kebenaran dan kebaikan[20] meskipun baik dan benar itu bukan semata karena dirinya sendiri melainkan juga karena dihadirkan sesuai dengan ikatannya pada kekinian.[21]
Demikian pula dengan tradisi lisan. Secara historis, tradisi lisan merujuk pada fase di mana masyarakat belum mengenal tradisi menulis (pre-historis). Sebagai salah satu bentuk komunikasi, tradisi lisan berfungsi sebagai medium transformasi nilai, norma dan hukum dari satu individu ke individu lain ataupun antar generasi.[22] Tak dapat ditepis jika ia adalah proses panjang sistem pewarisan pengetahuan (termasuk didalamnya filsafat dan sejarah masa lalu) dari ‘satu bentuk kekuasaan tertentu’ yang disampaikan melalui tindak-tutur, baik secara esoteris ataupun sebaliknya dan berlaku dalam suatu kelompok kolektif.[23] Ben Anderson, dalam Imagined Communities, komunitas-komunitas Terbayang, menggambarkan proses terbentuknya tuturan sebagai,
“Seluruh perubahan besar dalam kesadaran, dengan hakikatnya sendiri, membawa amnesia-amnesia karakteristik. Dari lautan kealpaan itu, dalam keadaan-keadaan histories tertentu, muncul tuturan-tuturan” (Anderson, 2001: 312).
Belakangan, kajian tradisi lisan sebagai sumber sejarah[24] mendapat angin segar dari Foucault. Analisa wacana atau diskursus Foucault telah menggiring perbincangan kuasa pengetahuan, dimana ideologi dan hegemoni bertemu pada titik yang disebutnya episteme dan terbangun di atas pola kerja: displin ilmu, institusi dan tokoh.[25] Episteme, atau diskursus wacana, bertugas memproduksi gagasan-gagasan dominan sebagai bagian langsung dari sifat reproduktif kekuasaan sehingga pada banyak kesempatan ia bergerak menjadi kebenaran tunggal. Kebenaran yang demikian, menurut Foucault, adalah kebenaran yang harus ditolak karena ia merupakan ‘kebenaran yang mengeras’, kebenaran yang tidak dapat diubah dan justru dapat menjadi lahan subur bagi terbentuknya sakralisasi wacana.[26] Prinsip-prinsip ketunggalan patut ditolak karena ia dapat meniadakan prinsip-prinsip bermain bagi yang lain: memarjinalkan bahkan secara ofensif juga menyerang yang berbeda. Dan dari wacana inilah, genealogy of subjectification[27] dalam biopolitik atau politik identitas lahir.
Pendekatan genealogi Foucault dianggap dapat membongkar bentuk episteme. Pendekatan ini banyak digunakan untuk membongkar mitos-mitos yang terbangun. Genealogi menitikberatkan pada aspek-aspek kebudayaan dan konteks sejarah sebagai metode perlawanan akan cara pandang kekuasaan yang memang telah mendomestifikasi kekuatan marjinal.
Di sinilah peran tradisi lisan terkuak, yakni mendokumentasikan sistem pelembagaan pengetahuan dari wacana tandingan yang pernah hidup. Duija (2005: 118-121) menjabarkan peran dan posisi tradisi lisan mencakup tiga hal, pertama, resistensi hegemoni budaya. Tradisi lisan dianggap sebagai wacana tanding yang lahir dari kelas tersub-ordinat. Sistem hegemonik dalam politik kebudayaan[28] yang melahirkan klaim-klaim kebenaran, membuat kelompok yang merasa termarjinalkan seakan-akan berhak melakukan tindakan preventif sebagai manifestasi pernyataan diri ‘ada’ (bersifat eksistensial). Kebersamaan atau solidaritas ini sendiri dimodali oleh politik identitas.[29]
Kedua, perannya sebagai sejarah “budaya mentalisme”.Bukan hanya sebagai wacana tanding, tradisi lisan juga berfungsi sebagai gambaran bagi sejarah mentalitet. Sebuah politik kehidupan. Sesuatu yang begitu saja; banal atau sangat sehari-hari. Sifat alamiah-natural jelas merupakan bagian dari turbulensi kehidupan, bagian dari sistem kosmologi itu sendiri dan dengan demikian bersifat esensial. Fenomena ini dapat diamati misalkan melalui upacara penghormatan terhadap Dewi Sri yang selalu dilakukan sebelum masa tanam atau masa panen.
Ketiga, bagian dari pengetahuan genealogis. Fenomena ini menunjuk bahwasanya tradisi lisan maupun naskah dapat menjadi petunjuk sistem kekerabatan dalam kaidah trah (sistem kekerabatan berdasar darah-turunan) dari suatu wangsa, maupun dalam kaidah geopolitik. Termasuk di dalamnya adalah legenda, mitos hingga sistem persandian atau simbologi.
Adapun sejarah lisan, yang menjadi bagian dari tradisi lisan, sudah berkembang sejak jaman Herodate. Ia adalah sejarahwan pertama Yunani yang mengembara ke tempat-tempat jauh untuk mengumpulkan bahan sejarah lisan, terutama Peperangan Persia.[32] Metode tersebut diikuti oleh Thucydides, yang pada paruh kedua abad ke-5 SM mencatat kesaksian langsung dari prajurit yang turut bertempur di perang Sparta melawan Athena. Kisah yang diterbitkan dalam History of the Peloponnesian War menjelaskan pula metodologi yang digunakan dalam waktu dan tempat yang berbeda beserta kesulitan-kesulitan yang dihadapi.[33]
Abad ke-17, sejarah lisan menuai kritik. Situasi itu mengerucut hingga abad ke-19. Validitas sejarah lisan merupakan masalah pokok yang terus dipersoalkan. Dalil, “…no documents, no history” dari Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos, Universitas Sorbonne, Paris, terus terdengar. Dapat diduga jika tuntutan ini sejalan dengan kecenderungan mengentalnya logika positivistik dikalangan ilmuwan maupun akademisi Eropa pada saat itu. Sejarah lisan baru kembali naik daun setelah dilaksanakannya penelitian besar-besaran terhadap budak kulit hitam, tahun 1930 di Amerika Serikat. Tahun 1948, pusat sejarah lisan di Universitas Columbia, New York, didirikan oleh Allan Nevins. Tak menunggu lama, Inggris, Kanada dan Italia segera mendirikan badan kajian serupa.[34]
Di Indonesia, penelitian sejarah lisan dimulai tahun 1972. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), di bawah koordinator Jose Rizal Chaniago, berusaha mengisi kekosongan data mengenai sejarah pendudukan tiga setengah tahun Jepang dan Revolusi. Hampir pada saat yang bersamaan, James Danandjaja mulai melakukan kajian mendalam tentang folklor Indonesia.[35] “Folklore is the etnographic concept of the tales, legend, or supertitions current among a particular ethnic population, a part of the oral history of a particular culture”,[36] sementara James Danandjaja mendefinikan folklor Indonesia sebagai,
“…sebagian dari kebudayaan Indonesia, yang tersebar dan diwariskan turun temurun secara tradisional, di antara anggota-anggota kolektif apa saja di Indonesia, dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan perbuatan-perbuatan dan alat-alat pembantu pengingat (mnemonic devices) (Danandjaja, 1991: 460).
Sudah pasti pendekatan yang digunakan untuk menelaah tradisi lisan pada tiap-tiap penelitian berbeda, terlebih menyangkut folklor.[37] Diperlukan syarat-syarat khusus untuk memasuki ruang ini, utamanya pemahaman mengenai logika pengetahuan lokal yang memadai. Ini sangat penting mengingat kedudukan peneliti biasanya berangkat dari kerangka formal yang telah dibingkai oleh institusi pendidikan bergaya barat, sementara tradisi timur, semenjak awal diketahui memiliki kekhasan tersendiri terutama berkenaan dengan sistem kosmologinya.
Namun demikian, bukan berarti tidak ada benang merah yang dapat menjadi kerangka acuan ketika memandang tradisi lisan. Satu hal yang harus digarisbawahi adalah tradisi lisan berarti juga sebuah tindak-tutur; ia merupakan sebuah pernyataan sikap dan dengan demikian bersifat ideologis pula.
3. Menyoal Tradisi dan Sejarah Lisan: Catatan Atas Teori & Metodologi
Sekilas dipaparkan jika tradisi lisan adalah sebuah kenyataan tindak-tutur. Kesimpulan ini penting disebutkan untuk menjawab kedudukan tradisi lisan, baik secara teoritik maupun metodologis.
Pokok perhatian tradisi dan sejarah lisan mengerucut disekitar masalah validitas. Ini berkait dengan siginifikansi informasi yang kebetulan memang dibuat melalui metode pengumpulan lisan. Nilai wawancara menjadi suatu hal yang dipertaruhkan di sini. Menurut Kwa Chong Guan (2000: 51), “wawancara sejarah lisan adalah upaya untuk menangkap dan membekukan fragmen-fragmen dari kenangan sosial kita yang kita bentuk dan yang pada gilirannyanya membentuk kita”. Tentang apa atau bagaimana wawancara sebenarnya tergantung pada historiografi yang diteliti maupun informan yang ditetapkan. Pendekatan bagi historiografi tradisional/lokal tentu berbeda dengan historiografi lainnya.
Sebagai contoh, dalam kerangka masyarakat lokal, seringkali tradisi lisan tidak menempati posisi yang tersubordinat, tetapi juga tidak berarti tampil sebagai yang superior. Adakala, tradisi ini demikian dihormati, sampai-sampai ia perlu ‘dipublikasikan’ secara umum melalui situs dan ritus dalam bentuk kesenian, pertunjukan, mantra, dll. Tetapi wujud penghormatanpun bisa disampaikan dengan cara lain yang berbeda, yakni dengan cara yang sangat terbatas. Terbatas di sini berarti harus berada pada kondisi tertentu: ruang tertentu, waktu tertentu dan gerak tertentu; dengan penutur maupun pendengar tertentu pula.
Pada wilayah ini ada dua jenis penutur yang cukup reprsentatif untuk bicara mengenai hal tersebut, di luar masyarakat pada umumnya. Mengutip Carl Wilhelm von Sydow, mereka adalah, 1) active bearers atau pewaris aktif. Mereka ini orang yang dianggap memiliki pengetahuan mendalam mengenai satu atau lebih bentuk tradisi lisan. Di samping menikmati, seorang pewaris aktif biasanya mengamalkan sekaligus menyebarluaskan pengetahuannya itu kepada masyarakat luas. Biasanya mereka minoritas; 2) passive bearers atau pewaris pasif. Mereka adalah pewaris yang sekedar mengetahui dan dapat menikmati suatu bentuk tradisi namun tidak berminat untuk menyebarkan secara aktif pada orang lain. Berbeda dengan golongan di atas, golongan ini merupakan mayoritas.[38]
Mereka adalah informan kunci. Sebagai narasumber, keduanya penting untuk menjelaskan logika pengetahuan dasar dari tradisi dimana mereka hidup, terutama berkenaan dengan sistem kosmologi (termasuk di dalamnya pemahaman supraempirik), simbolisasi, maupun struktur sosial dan kekuasaan yang melingkupi. Dapat diduga jika aras perbincangan pada ruang ini akan menjadi polemik, kalau tak bisa disebut masalah fundamental, terutama jika hal itu ditelaah melalui kacamata modernitas peneliti atau institusi yang memayunginya.[39]
Hardiman mengatakan corak kesadaran manusia modern melingkupi individuasi, distansiasi, progres, rasionalisasi dan sekularisasi.[40] Prinsip-prinsip itu diakui telah melahirkan pembebasan interior maupun eksterior, walau akhirnya menuai badai kritik karena dianggap melahirkan sikap positivistik, pragmatik, empirisistik dan operasionalistik yang seluruhnya dikondisikan untuk membangun ‘sistem kepastian baru’. Kemenangan modernitas ditunjukkan ketika pranata ekonomi berhasil menjadi primat, menggantikan kedudukan pranata-pranata religius dari masa sebelumnya. Setelah masa itu, hampir setiap kelompok komunal maupun individu yang tak mencercap logika ekonomi, partisipasi dalam rasionalisme, teknologi maupun ideologi modern akan bergerak menjadi objek pemenuhan kebutuhan manusia lain yang lebih modern.[41] Universalisme adalah slogan yang dikibarkan modernitas, yang secara negatif berdampak pada penolakannya terhadap liyan, the others.
Kondisi ini mempengaruhi terma tradisi maupun sejarah lisan. Seringkali ia dipandang secara apriori. Prasangka pun dilekatkan ketika yang lisan tak menghadirkan satu bukti otentik dari logika pengetahuan dasar masyarakat tradisional/lokal di timur, yang masih cenderung berada di ruang mitis partisipatif van Peursen.[42] Dalam masalah ini, yang tidak dipahami adalah, kisah tradisional memang tidak harus merupakan penyajian obyektif tentang realitas. Hyden White mengatakan jika kisah-kisah tersebut lebih merupakan pernyataan moral dan estetika.[43] Dikaitkan dengan kebenaran, jelas ia tidak bertitik tolak pada bukti empirik sebagaimana yang disyaratkan kaum positivis. Kebenaran pada ruang ini mengacu pada bentuk pertanggungjawaban moral maupun etik. Maka, bukan asumsi-asumsi kaku dari realitas material yang buram yang akan lahir dari dialektika ruang ini melainkan sebuah pendidikan budi pekerti. Peribahasa ‘mulutmu adalah harimaumu’ adalah satu contoh nyata untuk menjawab kasus ini.[44]
Pada titik ini, masalah tidak lagi sekedar apakah tradisi lisan memiliki koherensi dan konsistensi dalam mengemukakan urutan kronologis melainkan pesan atau makna macam apakah atau bagaimanakah yang terkandung di dalamnya. Makna, dan bukan semata-mata peristiwa yang terpenting.[45]
Kwa Chong Guan yang sempat meneliti pembentukan Malaka dalam Sejarah Melayu dan Summa Oriental milik Tome Pires, mengatakan jika Sejarah Melayu bukan sekedar informasi atau kenangan sosial yang diingat saja sebagaimana yang dibuat Tome Pires. Melainkan, apakah Malaka itu, bagaimanakah moral sultan untuk memerintah; sebuah gambaran tentang bagaimana masa lampau itu dipandang dan dinyatakan. Di sini, bila masa lampau ‘hanya’ dilihat sebagai sebuah kumpulan peristiwa tanpa pola, struktur maupun tatanan, maka Sejarah Melayulah yang memberi struktur pada masa lampau itu sehingga ia dapat dipahami.[46] Mudah dimengerti bila Hong Lysa mengatakan, logika yang terpenting adalah kesinambungan sebab dengan demikian narasi yang dikemukakan informan dapat diketemukan.[47]
Satu hal lain yang biasanya dianggap sebagai ganjalan adalah orang seringkali hanya menceritakan apa yang mau dia ingat dan dengan demikian cenderung subjektif. Pertama, Maurice Halbwachs, menjelaskan bahwa apa yang dipilih seseorang untuk diingat biasanya mengacu pada referensi sistem sosial yang paling dekat dengan orang tersebut.[48] Pada titik ini kenangan membentuk seseorang dan pada gilirannya kenangan berbalik membentuk dirinya. Kedua, secara teknis problem tersebut dapat diatasi dengan cara mengikuti jejak Thucydides, yakni dengan cara uji-silang secara sistematis serta menimbang secara analogis dengan menggunakan suatu tolak ukur. Ketiga, bias subyek-obyek mungkin tidak bisa diterima dilihat dari sudut masyarakat akademik yang gemar melakukan penjarakan (distansiasi) terhadap realitas yang diamati (kedudukan sebagai ‘orang luar’) meski distansiasi itu dilakukan tanpa memperhatikan dengan benar apakah fungsi atau makna distansiasi itu. Tetapi sebenarnya, adakah atau siapakah yang bisa menjamin bahwa tidak terdapat bias apapun dalam dokumen tertulis ketika ideologi selalu hidup dan bersarang dalam jenis kesadaran macam apapun? Mungkin pernyataan Alessandro Portelli[49] berikut ini dapat dijadikan acuan,
“…subyektifitas memiliki hukum-hukum ‘obyektif’-nya, struktur dan petanya sendiri (apa yang oleh Hawthorne disebut ‘kebenaran hati manusia’). Hal-hal itu mungkin kurang terlihat, tetapi bisa direkonstruksi dengan menggunakan cara-cara ilmiah yang cocok termasuk di dalamnya pikiran dan imajinasi yang terbuka”.
Melengkapi pandangan tersebut, Ronald J. Grele menyarankan agar pewawancara dapat “menangkap struktur yang mendasari kesadaran yang menentukan dan memberi makna pada wawancara lisan”. Struktur yang mendasari kesadaran ini adalah suatu ketegangan dialektis antara gambaran utopia dan mitis mengenai bagaimana masyarakat seharusnya terstruktur dan gambaran historis yang mengaitkan masa lampau dengan masa kini dengan gambaran mitis itu.[50]
Penutup
Kita tidak dapat menutup mata dengan pendapat Hong Lysa (2000: 82) jika tradisi lisan bisa menjadi kunci sejarah silam, tetapi fakta yang dikemukakan itu juga dapat ditata dalam struktur tertentu melalui pemilahan, pembongkaran dan penyusunan ulang oleh pewawancara sehingga menjadi cerita yang lain sama sekali. Disisi lain kita tidak mungkin pula mengabaikan fakta jika kisah lisan mengandung pola budaya, makna dan nilai dari masa lampau. Hal itu dapat membangun persepsi sejarah individu maupun kelompok kolektif, bahkan dapat menjadi dorongan bagi rasionalisasi tindakan di masa depan.[51] Oleh karena itu keluar dari jenis penelitian yang dilakukan, yang terpenting adalah menyadari konsep ideologi dan hegemoni, termasuk di dalamnya pemahaman tentang struktur kekuasaan dan pengetahuan yang melatarbelakangi konteks sosial yang ada.[52]
Pemahaman mengenai peta masalah ini penting untuk merumuskan desain kebudayaan supaya tidak terjebak pada retradisionalisasi feodal[53] yang belakang kembali marak maupun invensi tradisi.[54] Transformasi nilai yang bisa ditawarkan adalah me-recycle pengetahuan/tradisi lokal terutama yang memiliki gagasan mengenai egalitarianisme.[55] Tujuannya adalah menggerus batas-batas persinggungan yang keras, merumuskan ulang peran fungsi dan menata kembali ruang yang memungkin tubuh sosial bisa tumbuh mengikut arah perkembangannya yang benar melalui pembentukan nilai yang tercakup dalam sistem pendidikan; baik itu sistem pendidikan keluarga, pendidikan politik, sistem pendidikan formal, dll.[56] Pada titik inilah kebudayaan (tanah), kesenian (budi pekerti) dan perjuangan (nasional) memiliki celah untuk berdialektika secara sehat. Catatannya adalah, modernitas juga mereproduksi dirinya dalam tradisi;[57] satu hal yang harus diwaspadai.
Sumber: http://pawonpot.wordpress.com
Rabu, 29 Juni 2011
Desain Budaya Dalam Tradisi Lisan: Perjalanan Suara Yang Hilang
Posted on Rabu, Juni 29, 2011 by Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi
Categories: Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, salam...