Karya Asrizal Nur
(Kepada Tanjungpinang)
Aku saksikan mata air kata
meluap di lafaz pemantun
jiwa berlabuh didermaga kota
dipeluk peradaban negeri pantun
bahkan laut bahkan ikan
riak air dan gelombang
pantai, pasir dan awan
nelayan dan air pasang
air memberi kata ke laut
riaknya berpantun gelombang
gelombang seru bertaut
mengalir pantun di air pasang
air pasang berpantun pada ikan
ikan membalas kata riang
riang kata umpan nelayan
ikan dipancing dibawa pulang
ikanpantun di lahap perut kota
jadikan orang berlidah pantun
tuntun cakap, mematut kata
adat melayu bertuah santun
Tanjungpinang, 2007
NYANYIAN KECEWA
Karya: Asrizal Nur
“Kau bilang yang kau pinta
untuk kita juga”
kau hendak rindu
ku beri cinta
kau minta seribu
kau dapat sejuta
kau mau hari
ku beri tahun
kau pinta hati
kau dapat jantung
dulu kau gagu
ku beri bahasa
dulu kau bisu
kini cerdik bicara
kau minta kayu
rimba kau bawa
kau mau batu
pasirpun juga
kau harap terlaga
kau kail samudra
kau minta pelita
kau hisap cahaya
dulu kau papa
kini kau berada
dulu kau amanah
kini suka berdusta
tapi mengapa pinta
tak balas beri ?
ku ingin rindu
kau bilang aduh
ku mau seribu
kau beri malu
ku hendak berkata
kau buat aku bisu
ku minta jumpa
kau bunuh waktu
kupinta rimba
rotan tak punya
kuingin dermaga
pantai ntah kemana
kuminta telaga
kau kasi polusi
kumau pelita
gulita kau beri
remuk aku dengan kecewa
berpisah kita baiknya
Jakarta, 1998
KURSI BUNTUNG
Karya: Asrizal Nur
Di kursi buntung
Geneva depan gedung damai
aku dipercik rinai salju
muncrat dari tiga kaki kursi itu
keperkasaannya wartakan berita
kursi buntung
meronda hari
kesetiaan adalah pengabdian
duduk di kursi buntung
tak boleh dengkur
ngigau
meracau
mesti kusuk
angin duduk merajuk
di pasar kursi
orang orang berebut kursi
beralas beludru
hitam atau abuabu
kursi buntung tak laku
tak bisa duduk sukasaku :
para pendengkur
bertarung rebut kursi empuk bergincu
Geneva Swiss-Jakarta, 2000-2009
PINTU
Karya: Asrizal Nur
Di pintu
ada sepatu
tapaknya berdarah
bernanah
tak ada penjaga ramah
cuma pemintaminta
tak ada penawar bunga
hanya penjaja duka
pintu
tak lagi mudah diketuk
bila diketuk
dia mengetuk
bila ditanya
dia bertanya
bila diharap
dia mengharap
bila kau sedih
kau yang diperih
bila kau masuk
kau diluar
kemana pintu
tempat masuk itu?
tinggal jejak
berdarah
bernanah
Depok, September 2009
JANJI MUSAFIR
Karya: Asrizal Nur
Di gurun tak berujung
musafir telan embun
reguk peluhletihnya
rindu sebiji kurma buahhidup
kabut tutup mata harap
nafas terlunta didera rindu :
“ datanglah penolong
beri seteguk air
sepotong roti
aku sedia jadi abdi abadi”
ia ucap kala berdiri dan tersungkur
tapi tak sua harap
lagi lagi kabut
dihempas badai kusut
di ujung hari lelah
bola mata cahayapengharapan
ngerlip di bahu pasir
seru jiwa hampir pergi
semangatnya menyala
darah aliri tubuh nyaris mati
walau tak seirama
kekuatan hati dan raga yang biru
harap zikir berkali diucap
lalu ia terjerembab di kaki penolong
impian zikirnya nyata
di rumah beratap cahaya
dengan senyum terangbulan
pemilik rumah berkata :
“ bangunlah!
ini tempat pergi dan kembali”
dengan nafas ringkih
musafir bisikkan ucap
yang kerapkali dilafazkan
pemilik rumah memapahnya
dengan kasih setinggigunung
direbahkan di atas pahanya yang sutra
seka luka dengan telapaksalju
lalu suapkan nirwana
musafir memagut dirinya yang hampir hilang
riang bagai kejatuhan bintang :
“ aku minta seteguk air tapi kau hilangkan dahagaku berjuta tahun
aku harap sepotong roti kau lenyapkan lapar sepanjang abad
jadikan aku pesuruhmu abadi “
“ ini tempat pergi dan kembali
jika lapar bertanaklah
bila haus gayung telaga
ternak ternak pelihara
tanaman tanaman jaga
karena dengan bertanam dan pelihara
kau akan ngerti makna hidup
berjanjilah!
jadi pesuruh diri sendiri
sebelum paham jadi abdi abadi ”
musafir sujud di kaki pemilik rumah
mencium dengan airmatacinta
“ ya aku berjanji jadi pesuruh diri sendiri”
hari pertama ia tepati
hari kedua masih
hari ketiga mulai menipu diri
selanjutnya lupa janji.
sipemilik rumah menuntut janji
dengan tatapan garangmatahari
namun senyum terangbulan masih lekat di bibirnya
“ disini hanya rumah ini
jika kuusir engkau tak ada lagi tempat tuju”
musafir gemetaran, darahnya terbang
nyawa bagai tersangkut awang
ia menampar diri sekuat sedu
tersengat tatapan garangmatahari
dipukau senyum terangbulan itu
bagai angin meniup debu
maaf terbuka selebar cakrawala
musafir dihempas sesalnya
tersungkur bersimbah doa
Depok, 11 Pebruari 2005
Sumber: Angso Duo:
Minggu, 27 Maret 2011
Negeri Pantun
Posted on Minggu, Maret 27, 2011 by Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi
Categories: Pantun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, salam...