Kematian dan Absurditas
Oleh: Ricky Manik, S.S.*
Di Wilmington, pinggiran kawasan Los Angeles California, satu keluarga tewas. Tepatnya tanggal 3 Januari 2009, sebuah letusan di kepala menjadi akhir kehidupan keluarga itu. Di rumah itu, polisi menemukan tujuh sosok mayat yang masih hangat, darah yang masih mengalir dan bau bubuk mesiu peluru yang sengit. lima anaknya turut menjadi korban ketaksanggupan, ketakmampuan, ketakberdayaan orang tua menghadapi hidup yang dianggap sulit dan sukar ini. Di ruangan itu 2 bocah kembar berumur 2 tahun, 2 bocah kembar berumur 5 tahun, 1 berumur 8 tahun, dan kedua orang tua mereka. Pria yang teridentifikasi bernama Irvine Lupo itu diduga lebih dulu menembak istri lalu secara bergiliran kelima anaknya. Terakhir, Lupo melesakkan peluru ke kepalanya. Surat kabar menduga kematian mereka karena ketaksanggupan menahan beban ekonomi yang begitu berat.
Sebelum pembunuhan dan bunuh diri itu dilakukan, Lupo sempat menelpon dan mengirimkan faks ke sebuah stasiun televisi lokal. Dalam faksnya itu Lupo mengaku bahwa ia dan istrinya baru saja di pecat dari pekerjaan teknisi kesehatan. Disebutkan juga, perempuan itu menyarankan membunuh anak-anak mereka lalu bunuh diri.
“Mengapa harus meninggalkan anak-anak dengan orang asing? Kami menganggur dan anak-anak di bawah delapan tahun tidak punya tempat tinggal. Jadi inilah kami. Oh Tuhanku, tidak adakah harapan bagi anak janda?” demikian tulis Lupo dalam faksimile itu.
Dalam jumpa pers, Wali Kota Los Angeles, Antonio Villaraigosa, mengaku sulit memahami mengapa orang berbuat hal sekeji itu. "Tak satu pun orang yang saya kenal bisa memahami apa yang mendorong orang mengambil langkah yang demikian mematikan," katanya.
Sesuatu Tentang Absurditas
Sekilas, mungkin kita belum mengetahui dorongan apa yang melatarbelakangi orang melakukan bunuh diri. Ada banyak penyebab bunuh diri, dan pada umumnya, penyebab yang paling kentara bukanlah penyebab yang paling menentukan. Apakah mungkin pada saat kejadian itu sebuah perusahaan atau instansi yang melakukan pemecatan itu adalah satu-satunya penyebab? Jika demikian perusahaan atau instansi itulah yang bersalah, karena pemecatan itu cukup untuk mengakibatkan memuncaknya semua dendam dan kejemuan yang sampai saat itu masih tertahan.
Namun, dalam arti tertentu membunuh diri adalah pengakuan si pelaku bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau bahwa ia tidak mengerti kehidupan. Membunuh diri adalah semata-mata mengakui bahwa “hidup sudah tidak layak dijalani”. Albert Camus melihat hal ini sebagai sebuah pilihan hidup atau keputusan yang diambil dari proses pemaknaan hidup. Bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah dan ketragisan hidup yang manusia sendiri tidak tahu kapan akan menghadapinya. Lalu, kebiasaan hidup dan derita panjang adalah suatu proses pemaknaan akan hidup itu sendiri. Itulah yang oleh Camus disebut sebagai absurditas. Dunia dan manusia yang absurd. Akan tetapi, menurut Camus, bunuh diri bukan suatu pemecahan. Ia berpendapat bahwa manusia harus menerima keanehan kondisinya. Adalah kehormatan bagi manusia yang berhasrat menanamkan kebesaran hatinya untuk memperoleh kejelasan di tengah ketidakrasionalan yang begitu banyak.
Dalam hidup ini ada proses panjang yang dilalui. Absurditas lebih kepada proses panjang atau pengalaman yang tak henti dilakukan manusia dalam mencari makna hidup. Dari situlah kemudian manusia itu bertumbuh dan dewasa dalam pemikiran. Akan tetapi, apabila makna itu sudah tidak dapat diuraikan, maka manusia itu akan terjerumus dalam kepasrahan. Dalam artian, manusia harus menyadari bahwa manusia hidup di dunia yang absurd. Manusia harus menyadari bahwa persoalan dan permasalahan merupakan kebutuhan dalam hidupnya, karena dengan demikian manusia akan menelaah habis-habisan semua yang dihadapi, tanpa harus mempedulikan tatanan nilai-nilai; demkianlah wujud moral manusia absurd.
Kematian menjadi begitu akrab ketika manusia itu memilih untuk menyerah menghadapi gelombang persoalan dalam hidupnya. Hidup manusia yang absurd. Bunuh diri dianggap jalan keluar yang tepat dari yang absurd. Pertanyaannya, apakah absurditas hidup memaksa manusia untuk menghindarinya melalui harapan atau bunuh diri? apakah yang absurd menuntut kematian? Albert Camus memilah permasalahan itu di atas masalah-masalah yang lain, mencoba keluar dari metode pemikiran dan permainan akal budi yang tak berpamrih. Nuansa-nuansa, kontradiksi-kontradiksi, psikologi yang selalu saja dapat digunakan oleh budi “objektif” untuk memecahkan semua masalah tidak mempunyai tempat dalam pencarian dan gairah ini. Yang dibutuhkan hanyalah pemikiran tak adil, artinya pemikiran logis. Itu tidak mudah. Bersikap logis selalu mudah, namun nyaris tidak mungkin bersikap logis sampai akhir. Mereka yang mati bunuh diri, meniti sampai akhir lereng perasaannya dengan berbuat seperti itu.
Apa yang dilakukan Lupo terhadap keluarga dan dirinya adalah logis menurut pandangannya. Bahwa hidup adalah sebuah kesia-siaan. Pemecatan dirinya dan istrinya adalah suatu akumulasi perasaannya yang sebelumnya telah dilanda badai permasalahan. Masalah ekonomi tentu tidak mutlak dijadikan alasan pengambilan keputusan yang dianggap logis itu. Mungkin, mengakhiri hidup adalah kenikmatan dari hidup yang penuh dengan ketragisan.
Polisi tidak datang terlambat. Tapi maut datang begitu cepat. Maut yang seketika melebihi rofes yang sedemikian rupa rofessional diciptakan manusia. Tanpa ada kompromi. Dan Tuhan pun hanya menjadi saksi dari pilihan itu. Saya pikir, Tuhan akan sedih melihat kejadian itu. Tetapi itu sudah menjadi perjanjian manusia denganNya ketika manusia itu memilih untuk memakan buah dari kebenaran. Maka, manusia itu akan mati. Dan pilihan itu adalah mutlak hak manusia itu sendiri untuk menentukan hidup atau matinya. Dari sanalah absurditas itu kemudian berperan.
Jambi, 3 Februari 2009
*Penulis pemerhati masalah sosial dan bekerja di Kantor Bahasa Prov. Jambi
wah besok bakalan kesini lagi tuch
BalasHapusTerima kasih udah mampir,
BalasHapusjangan sungkan ya.....
Salam....