Minggu, 04 Januari 2009

Pewarisan Tradisi Lisan Orang Rimba1


Pewarisan Tradisi Lisan Orang Rimba1
Oleh: Firdaus


Tradisi lisan merupakan warisan budaya yang masih berkembang di masyarakat. Pada
masyarakat adat tertentu bahkan menjadi ciri yang spesifik. Pada definisi lainnya, tradisi
lisan merupakan produk budaya masyarakat tertentu yang penyebarluasannya
didominasi oleh unsur lisan, di satu sisi, ia merefleksikan sistem wacana yang bukan
aksara, tetapi di sisi lain, ia juga merupakan wacana yang diucapkan, baik yang lisan
maupun yang beraksara.3 Hal ini terjadi karena tidak semua masyarakat adat mengenal
dan memiliki tradisi tulis dalam kebiasaan hidup sehari-hari.

Kalaupun tradisi tulis
dikenal itupun karena masuknya pola pendidikan modern dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu, lestari atau tidaknya tradisi lisan sangat bergantung pada kemampuan
masyarakat adat menempatkannya sebagai bagian yang terhormat. Hanya saja problem
pelestarian menjadi semakin rumit terlebih lagi dengan adanya pengabaian terhadap
masyarakat adat. Pengabaian hak hidup, hak adat, hak atas tanah, dan kecenderungan
menjadikan sekedar obyek semata menjadi bukti tidak pentingnya masyarakat adat.
Adanya beragam program yang digagas didasarkan pada “rasa keprihatinan” dan “belas
kasihan” sebab penamaan Komunitas Adat Tertinggal, Masyarakat Terasing merupakan
bentuk keengganan menempatkan mereka pada posisi yang setara dan sejajar.
Orang Rimba merupakan masyarakat adat yang menetap dalam kawasan Taman
Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Penamaan Orang Rimba merupakan terminologi yang
disepakati oleh masyarakat adat tersebut. Hal ini berdasarkan asumsi (1) penamaan
seperti Suku Anak Dalam, Suku Kubu, Komunitas Adat Tertinggal cenderung telah
memposisikan mereka sebagai masyarakat yang bodoh dan ketinggalan zaman, (2)
penamaan Orang Rimba bersifat arbiter berdasarkan pemikiran bahwa mereka hidup
dan memperoleh sumber-sumber kehidupan di rimba, (3) bahwa penamaan ini untuk
menjaga keunikan tradisi dan membedakan kebiasaan hidup mereka dengan Orang
Terang.
1 Dipresentasikan pada Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan VI di Kabupaten Wakatobi, 1-3
Desember 2008.
2 Ketua Jambi Writing Program, Program Officer Komunitas Humaniora Indonesia, dan Wakil Ketua
Asosiasi Tradisi Lisan Daerah Jambi.
3 Pudentia, Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan ATL, 1998.
4 Menurut pengakuan Tarib, satu di antara tumenggung yang berdomisili di Air Hitam, Kabupaten
Sarolangun, Jambi penamaan Orang Rimba untuk membedakan identitas dengan Orang Terang. Yang
2
Model Pewarisan Tradisi Lisan Orang Rimba
Orang Rimba, sebagai masyarakat adat yang kental dengan tradisi lisan tentu saja
mengalami problem pelestarian dan pewarisan. Selain dikarenakan tidak adanya tradisi
keberaksaraan rendahnya tingkat partisipasi dalam pendidikan (meminjam bahasa
birokrasi). Pada sisi ini terdapat kontradiksi dalam memandang pendidikan, bagi Orang
Rimba pendidikan sering dijadikan sarana pembodohan yang dilakukan Orang Terang
terhadap Orang Rimba sedangkan bagi institusi terkait dan masyarakat di Jambi pada
umumnya beranggapan bahwa sarana untuk meningkatkan derajat Orang Rimba dari
ketertinggalan dan keterasingan adalah pendidikan. Dalam konteks ini dilakukan kreasi
tertentu untuk tujuan pelestarian dan pewarisan tradisi lisan.
Potensi pewarisan dilakukan oleh Orang Rimba melalui pewarisan yang bersifat internal
dan pewarisan eksternal. Maksud pewarisan internal adalah pewarisan tradisi lisan
dilakukan secara kolektif oleh Orang Rimba untuk memenuhi kondisi-kondisi tertentu
yang mempengaruhi dan menentukan keberlangsungan adat dan kebiasaan hidup
mereka. Pemilihan dan pelantikan tumenggung sebagai pemimpin kelompok Orang
Rimba misalnya dilakukan jika orang disiapkan (biasanya berasal dari lingkungan
keluarga) telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan tokoh adat yaitu kemampuan
dalam menghafal, memahami, dan mengaplikasikan hukum adat baik terhadap diri
sendiri, anggota kelompok/komunitas, atau terhadap Orang Terang. Persyaratan ini
merupakan satu dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebab apabila tidak
lengkap pewarisan dialihkan kepada orang lain (tetap mengacu pada garis keturunan).
Keharusan dan kemampuan menguasai tradisi lisan juga menjadi syarat wajib bagi
dukun yang ditentukan oleh komunitas. Hal ini dikarenakan pada tradisi pengobatan
Orang Rimba, pembacaan mantera biasanya menyertai proses pembuatan bahan-bahan
obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pada makalah ini dituliskan mantera
pengobatan penyakit asma yang dibacakan pada saat meramu dan merebus sejenis akarakaran
untuk diminum penderita asma.
dimaksudkan dengan Orang Terang adalah masyarakat yang berdomisili di luar rimba atau di luar
kawasan Taman Nasional. Penamaan ini juga berlaku pada anggota masyarakat Orang Rimba yang telah
beralih kepercayaan. Hal ini diterapkan oleh Tumenggung Tarib terhadap anak-anak beliau yang menikah
dengan Orang Terang dan diharuskan keluar rimba atau minimal menetap di pinggir batas rimba.
Penamaan lain yaitu Orang Rimbo dikemukakan oleh Muntholib Soetomo dalam disertasinya Orang
Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi, Bandung:
Universitas Padjajaran, 1995, h.vi.
3
Bismillah
Tedung inggak tedung inggih
Tedung inggak tedung inggih
Aku menunduk menagari
Aku menyungak sekali lagi
Untung ku keno siang ka aku lagi idup
Kalau ku keno malom aku lah mati
Untung ku keno malom ka aku lagi idup
Kalau ku keno siang aku lah mati
laaillahaillallah
Pembacaan mantra untuk pengobatan dapat dilakukan secara langsung yaitu dibacakan
pada saat pengobatan atau secara tidak langsung melalui upacara bebale5. Ketentuan
pembacaan mantera pengobatan ini menunjukkan adanya mantra yang boleh diketahui
oleh orang lain dan mantra yang tidak boleh diketahui oleh orang lain.
Selain pewarisan melalui pengukuhan tokoh-tokoh adat dilakukan pewarisan dengan
menempatkan beberapa terminologi dalam tradisi lisan mereka baik sebagai aturan baru,
penamaan tempat, dan pemberian nama anak. Pada komunitas Orang Rimba terdapat
aturan baru dinamakan “hompongan”6 bermakna hadangan, menghadang, menghalangi.
Digunakan untuk memberi batas pada wilayah rimba/hutan dengan cara menanam karet.
Penggunaan istilah ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan adanya batas yang jelas
antara hutan rimba dan hutan produksi maka akan dapat dijaga kelestarian hutan yang
menjadi tempat hidup Orang Rimba. Pilihan menggunakan pohon karet sebagai batas
rimba didasari gagasan kognitif bahwa tanaman karet merupakan tanaman produktif.
Hasilnya dinikmati bersama-sama baik Orang Rimba dan Orang Terang (penduduk
dusun asal, pendatang, dan transmigrasi).7 Pada pola ini terlihat bahwa tradisi lisan tidak
hanya sekedar sarana pemenuhan kebutuhan kognitif saja tetapi juga sebagai untuk
menjaga kesejajaran manusia dengan alam dan kesetaraan antara sesama manusia.
Penghormatan Orang Terang (dalam hal ini masyarakat transmigrasi sangat baik karena
mereka diberi kepercayaan untuk menyadap karet dan menggelola hasil produksi.
5 Upacara “bebale” dapat diartikan sebagai upacara menghormati dewa-dewa dengan menyiapkan
sembilan balai, ditempati seorang dukun dan sesaji. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya untuk
pengukuhan tumenggung tetapi juga untuk upacara pengukuhan dukun, perkawinan, pengobatan,
pengukuhan jenang (semacam penghubungan dengan Orang Terang). Hanya saja tidak ada dokumentasi
upacara ini karena bersifat tertutup kecuali pada komunitas Orang Rimba yang menjadi Orang Terang
melaksanakan upacara pengukuhan berdasarkan cara-cara formal.
6 Terminologi “hompongan” merupakan pemaknaan mendalam dari prinsip hidup bermasyarakat yaitu
apabila seseorang melangkah ke kebun orang lain tanpa izin maka orang tersebut dianggap melangkahi
kepala. Penjelasan ini berdasarkan penuturan tumenggung Tarib. Beliau juga memaparkan apabila
seseorang melangkahi kepala orang lain sama artinya dengan menghina adat dan menghina martabat.
7 Orang Rimba sebagai pemilik tanaman karet biasanya mengikutsertakan Orang Terang sebagai
penyadap karet. Kesepakatan yang digunakan adalah 2/3 untuk penyadap dan 1/3 untuk pemilik.
4
“Tanoh Peronok’on”8 atau “tanah peranakan” merupakan peristilahan untuk menamai
tempat ibu-ibu melahirkan. Prosesi melahirkan memiliki kesakralan yang sama dengan
prosesi kematian. Perbedaannya terletak pada kontradiksi yang menyertai. Maksudnya
ibu yang akan melahirkan diantar oleh seluruh anggota komunitas ke tempat khusus
yaitu tanoh peronok’on. Di tempat tersebut telah disiapkan bahan-bahan makanan,
peralatan melahirkan, dan didampingi dukun beranak. Pada prosesi kematian, seseorang
yang sakit ditempat pada “sudung” atau pondok kecil dilengkapi bahan-bahan pangan,
sarana untuk menjaga diri dari binatang buas dan berbisa namun orang yang sakit
ditinggalkan sendiri sedangkan keluarga dan anggota komunitas Orang Rimba hanya
melihat dari jauh. Akan tetapi apabila ibu atau anak atau orang yang sakit meninggal
dunia maka kedukaan dan kesedihan Orang Rimba diwujudkan dalam bentuk tradisi
“melangun”9 yaitu tradisi eksodus ke wilayah lain dalam beberapa waktu. Biasanya
berlangsung antara 5 bulan sampai 2 tahun. Namun mengingat kondisi hutan yang
semakin kritis maka berdasarkan kesepakatan kolektif masa “melangun” dipersingkat
menjadi maksimal 6 bulan.
Penggunaan tradisi lisan pada pemberian nama juga merupakan upaya-upaya pewarisan
yang disepakati dan telah lama dilakukan Orang Rimba. Pemberian nama disesuaikan
dengan kondisi fisik dan sifat-sifat yang mengikuti. Misalnya nama “bunga sanggul”
untuk nama perempuan yang fisiknya menarik terutama rambut panjang yang disanggul.
Begitu pula dengan nama “pengantap” untuk menamakan seseorang yang sangat
berketetapan hati. Penggunaan terminologi ini tidak hanya menyesuaikan dengan
karakteristik fisik dan sifat manusiawi tetapi terkadang baru muncul sesuai kebiasaan
sehari-hari. Misalnya nama “pengikat”, “bejoget”, “meratai” untuk wujud simbolisasi
kemampuan mengikat, kebiasaan beratai atau mengoyangkan tubuh. Bahkan ada pula
menggunakan nama “jujur” sebagai nama salah satu dewa Orang Rimba. Pemberian
nama ini terkadang juga dilakukan untuk masyarakat yang menjadi tamu Orang Rimba
sebagai bentuk penghargaan atas kesediaan berkunjung.
8 “Tanoh Peronok’on” atau “tanah peranakan” hanya boleh dilihat dan ditempati oleh Orang Rimba
terutama anggota keluarga yang akan melahirkan.Kesakralan tempat ini biasanya ditandai dengan adanya
lokasi tanaman obat dan tanaman buah-buahan yang bermanfaat bagi anak dan ibu.
9 Pada tradisi “melangun”, Orang Rimba bersikap menirukan gerakan dan suara-suara hewan terkadang
juga disertai tradisi lisan “meratop” atau “meratap” yang mengungkapkan kenangan tentang “kepergian”
seseorang baik secara fisik dalam artian meninggal dunia maupun non fisik dalam artian menjadi Orang
Terang.
5
Pewarisan internal ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, masyarakat adat lainnya
di Indonesia juga telah melakukan langkah yang sama. Pada pewarisan Nyanyi Panjang
Tombo lebih bersifat terbuka dengan memberikan kesempatan pada seluruh anggota
pesukuan untuk mempelajari dan memahami Tombo. 10 Pola/model internal seperti ini
menunjukkan bahwa kesadaran kolektif untuk melestarikan tradisi agar lebih dihargai
dan mendapat tempat yang sejajar dengan anggota masyarakat lainnya merupakan
motivasi utama Orang Rimba melakukan pewarisan tradisi lisan. Keinginan ini telah
terwujud dengan diikutsertakannya tumenggung sebagai pemimpin adat Orang Rimba
untuk menentukan keputusan-keputusan yang bersentuhan dengan hukum adat.
Hubungan sejajar ini membentuk kesepahaman antara Orang Rimba dan Orang Terang
untuk saling menjaga dan menghormati tradisi masing-masing meskipun di antara
Orang Terang juga terdapat Orang Rimba yang memilih keluar hutan, menikah dengan
masyarakat transmigrasi atau masyarakat dusun dan menentukan secara sadar pilihan
kepercayaan normatif.
Pewarisan eksternal merupakan model pewarisan yang dilakukan secara kolektif atau
individual oleh komunitas atau individu di luar sistem. Keterlibatan aktif dengan cara
berpartisipasi langsung dalam beberapa bagian atau keseluruhan aktifitas Orang Rimba
sehari-hari merupakan teknis yang sebaiknya digunakan. Pada umumnya penerapan
partisipasi aktif/keterlibatan aktif menimbulkan pola interaksi timbal balik karena
adanya saling kesepahaman. Teknik atau metode lainnya adalah keterlibatan pasif
dengan cara memposisikan sebagai pengamat semata. Aspek dokumenter merupakan
hasil maksimal dari penerapan partisipasi pasif/keterlibatan pasif.
Model pewarisan eksternal dengan menggunakan pendekatan partisipasi aktif dilakukan
oleh fasilitator pendidikan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI. Guru
Rimba11 menggunakan dongeng populer sebagai salah satu formula pada pengajaran
BTH (baca tulis hitung). Peningkatan kemampuan baca tulis disertai dengan pendekatan
yang manusiawi menimbulkan motivasi para murid dan kader12 untuk menceritakan dan
menulis dongeng rimba yaitu ande-ande yang telah mereka kenal sejak kanak-kanak.
10 Tenas Effendy, Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan, Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, Toyota Foundation, 1997, h. 35.
11 Istilah lain dari fasilitator pendidikan. Menurut penulis istilah ini diciptakan untuk menimbulkan
keterkaitan dan keterikatan emosionil antara fasilitator dengan Orang Rimba.
12 Kader merupakan Orang Rimba yang disiapkan sebagai penerus Guru Rimba untuk melanjutkan
pengajaran BTH di komunitas masing-masing.
6
Proses penulisan yang mereka lakukan sendiri meski dengan ungkapan bahasa yang
sangat sederhana menunjukkan pemahaman mereka bahwa yang dilakukan merupakan
suatu kesadaran internal untuk memperkenalkan sekaligus mengabadikan tradisi yang
telah akrab dalam keseharian mereka.
Tapi ketika dongeng ini menjalani transformasi bentuk dari lisan menuju tulisan tentu
saja ini merupakan satu sistem yang kompleks. Kompleksitas pertama muncul dari
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan keberaksaraan. Kompleks ini terselesaikan
dengan adanya fakta bahwa dibutuhkan kontrak sosial tertulis antara Orang Rimba
dengan Orang Terang (dalam hal ini diwakili oleh kontrak bisnis di mana Orang Rimba
menjadi patron sedangkan Orang Terang menjadi klien). Dengan demikian tradisi
aksara sebenarnya adalah penerapan teknologi yang diperkenalkan kepada masyarakat
Orang Rimba sebagai alat penyelesaian konflik Orang Rimba-Orang Terang dalam
kontrak sosial.
Kompleks kedua adalah menumbuhkan kebutuhan internal teknologi aksara atau
kontekstualisasi keberaksaraan. Bila teknologi aksara berhenti sampai pada kompleks
pertama, maka tradisi aksara hanya menjadi alat penyelamat instan bagi Orang Rimba.
Sedangkan pada konteks lokal-global, tradisi keberaksaraan menjadi faktor penentu
hidup matinya suatu komunitas berdasarkan asas ketersiaran suatu keadaan. Hal ini
berarti bahwa dengan adanya dokumen-dokumen tertulis yang dikeluarkan oleh Orang
Rimba adalah fakta berdasarkan pemahaman mereka untuk dikomunikasikan kepada
masyarakat lain. Pada konteks ini posisi Orang Rimba adalah nyata dan faktual seperti
halnya posisi Orang Terang. Komunikasi ini menjadi penting sejak diketahui bahwa
kemampuan mengartikulasikan suatu keadaan yang berterima dapat memicu kerjasama
dan kemitraan yang lebih baik berdasarkan kesetaraan.
Kontekstualisasi tradisi keberaksaraan yang dilakukan KKI Warsi untuk membukukan
ande-ande merupakan inisiatif anak-anak Orang Rimba itu sendiri. Dalam hal ini
kontekstualisasi berlandaskan asas kebutuhan mereka untuk mendistribusikan tradisi
lisan yang mereka miliki secara internal yang pada akhirnya menjadi alat komunikasi
keberadaan mereka kepada Orang Terang (sebagai representasi terdekat masyarakat
global). Hal ini diungkapkan oleh Jujur dalam “Kisah-Kisah Anak Rimba” yang
disusun oleh KKI Warsi, “biak hopi helang ande-ande yoi” (“agar tidak hilang dongeng
7
ini”). Melalui ungkapannya Jujur secara eksplisit menyatakan kesadarannya bahwa
tradisi lisan adalah primer bagi Orang Rimba sedangkan faktor pendukung kelestarian
tradisi lisan tersebut dengan adanya pendokumentasian materi ande-ande itu.
Pada titik dokumentatif ini, tradisi keberaksaraan berada pada kompleks puncak. Tradisi
keberaksaraan adalah suatu sistem tanda asing yang dipelajari Orang Rimba sebagai
bentuk negosiasi untuk mampu bertahan terhadap gempuran zaman. Sebagai suatu yang
dinegosiasikan tradisi keberaksaraan tidak dapat sepenuhnya diterima mengingat tradisi
ini membutuhkan kelengkapan permanen sedangkan kehidupan Orang Rimba bersifat
semi-nomad.13 Dengan demikian, pendokumentasian tradisi lisan yang dilakukan oleh
anak-anak Orang Rimba dengan ande-ande yang mereka kenal adalah suatu usaha
menjadikan dunia milik mereka ada dan hadir secara kognitif dan imajinatif dihadapan
Orang Terang. Dengan kata lain, tradisi lisan justru membuktikan keunggulan vis a vis
dari tradisi keberaksaraan dikarenakan pendokumentasian ande-ande sebagai alat tawar
dilakukan secara sadar oleh anak-anak Orang Rimba.14
Model pewarisan internal dan eksternal yang dikemukakan dalam makalah ini pada
hakekatnya hasil analisis dan modifikasi dari penerapan metode kualitatif. Metode ini
yang pada hakekatnya menempatkan manusia sebagai subyek dan sekaligus obyek yang
harus mampu memposisikan kesejajaran sesama. Selain itu seperti dikemukakan oleh
Moleong (2005) bahwa pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan yang jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka
dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.15
13 Pada komunitas Orang Rimba tertentu terdapat pemikiran bahwa pendidikan sering dijadikan sebagai
“alat pembodohan” dan sebagai alat untuk menjauhkan Orang Rimba dari tradisi lama yang telah mereka
jalani dan patuhi. Motif ekonomi, motif religius bahkan motif politik seringkali menyertai proses
pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu.
14 Realitas ini menunjukkan bahwa pernyataan peneliti sastra lisan modern umumnya mengakui bahwa
penghafalan karya panjang dalam masyarakat niraksara, jarang terdapat. Selanjutnya dapat dibaca A
Teeuw, Indonesia Antara Kelisan dan Keberaksaraan. Jakarta, Pustaka jaya, 1994, h. 4.
15 Prof, Dr, Lexy J Moleong, MA, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, PT. Remaja
Rosda Karya, 2005, h. 9-10.

8
Referensi
Moleong, J Lexy, Prof, Dr, MA. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi.
Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
Murniatie, Sri Dewi. 2006. Bahasa Mantra Pengobatan Suku Anak Dalam di Desa
Hitam Ulu Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Skripsi (Belum Diterbitkan).
Jambi: Universitas Jambi.
Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan
Yayasan ATL.
Rahmadi, ed. 2007. Kisah-kisah Anak Rimba. Jambi: Tim Publikasi KKI WARSI.
Soetomo, Muntholib. 1995. Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat
Terasing di Makekal, Provinsi Jambi. Disertasi (Belum Diterbitkan). Bandung:
Universitas Padjajaran, 1995, h.vi.
Teeuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta, Pustaka Jaya.
Tenas Effendy. 1997. Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan,
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Toyota Foundation.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, salam...

    Kategori

    Tentang ATL

    Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi merupakan wadah sekumpulan orang-orang yang prihatin terhadap tradisi yang semakin lama semakin berkurang para penuturnya. Sekarang kami bermarkas di Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Silakan kontak kami di email atl_jambi@yahoo.com

    Pengelola

    Pemerhati