Oleh: Dr. Pudentia MPSS
1.
Pengantar
Peran masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah
bagaimana negara dan atau pemerintah menempatkan masyarakat sebagai mitra atau bagaimana
masyarakat diperlakukan sebagai mitra kerja pemerintah. Pengelolaan kemitraan
berbasis masyarakat berarti melibatkan potensi masyarakat dan memberi tempat
yang signifikan pada aktivitas mereka.
Sejalan dengan makin menguatnya peran
negara beberapa waktu yang
lampau, potensi masyarakat pernah dianggap sebagai ancaman. Akibatnya, secara umum terjadi kevakuman atau
ketidakpedulian masyarakat luas, khususnya akan hal-hal yang berkaitan dengan
budaya. Situasi dan paradigma
pembangunan yang pernah berjalan yang menekankan pada pentingnya pembangunan
ekonomi mengatasi yang lain amat berperan dalam membentuk ketidakpedulian dan
sekaligus ketidaktahuan masyarakat akan berbagai hal yang bersangkut paut
dengan budaya dan peran utamanya sebagai salah satu sumber pembentukan
identitas kemanusiaan dan salah satu media efektif dalam penyampaian
nilai-nilai.
Sejak lama, bahkan sebelum Proklamasi
Kemerdekaan,secara khusus (maksudnya belum menjadi kesadaran nasional kecuali
dalam bidang pendidikan) masyarakat telah melakukan berbagai hal untuk memajukan
atau mengembangkan kebudayaan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
memberikan dukungan nyata dalam pengelolaan sumber-sumber budaya. Dalam bidang
pendidikan, misalnya, sekolah swasta telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka
dan sekolah vokasional atau kejuruan yang diselenggarakan pihak swasta jauh
lebih banyak daripada yang dikelola negara. Bali, dengan kesuksesannya
mempromosikan pantai Kuta dan budayanya adalah contoh lain yang memperlihatkan
peran swasta (asing) jauh lebih kuat daripada peran pemerintah. Banyak contoh
lain dapat disebutkan untuk memperlihatkan peran nyata berbagai lembaga swasta
di bidang budaya dengan berbagai
kekhususan dan kekhasannya dalam melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan
pengembangan, pengelolaan, penelitian,pelatihan, pendampingan, dan
sebagainya. Lembaga swasta ini melakukan aktivitasnya justru lebih banyak
dengan bantuan pihak swasta atau pemerintah asing dan atau dengan bantuan anggotalembaga
itu sendiri.
Pengelolaan kemitraan berbasis
masyarakat berarti melibatkan potensi masyarakat dan memberi tempat yang
signifikan pada aktivitas mereka.
Sejalan dengan makin menguatnya peran
negara beberapa waktu yang
lampau, potensi masyarakat pernah dianggap sebagai ancaman. Akibatnya secara
umum terjadi kevakuman atau ketidakpedulian masyarakat luas akan hal-hal yang
berkaitan dengan budaya. Situasi dan
paradigma pembangunan yang pernah berjalan yang menekankan pada pentingnya
pembangunan ekonomi mengatasi yang lain amat berperan dalam membentuk
ketidakpedulian dan sekaligus ketidaktahuan masyarakat akan berbagai hal yang
bersangkut paut dengan budaya dan peran utamanya sebagai salah satu sumber
pembentukan identitas kemanusiaan dan salah satu media efektif dalam
penyampaian nilai-nilai.
Sejak lama , bahkan sebelum Proklamasi
Kemerdekaan,secara khusus (maksudnya belum menjadi kesadaran nasional kecuali
dalam bidang pendidikan) masyarakat telah melakukan berbagai hal untuk memajukan
atau mengembangkan kebudayaan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
memberikan dukungan nyata dalam pengelolaan sumber-sumber budaya. Dalam bidang
pendidikan, misalnya, sekolah swasta telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka
dan sekolah vokasional atau kejuruan yang diselenggarakan pihak swasta jauh
lebih banyak daripada yang dikelola negara. Bali, dengan kesuksesannya
mempromosikan pantai Kuta dan budayanya adalah contoh lain yang memperlihatkan
peran swasta (asing) jauh lebih kuat daripada peran pemerintah. Banyak contoh
lain dapat disebutkan untuk memperlihatkan peran nyata berbagai lembaga swasta
di bidang budaya dengan berbagai
kekhususan dan kekhasannya dalam melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan
pengembangan, pengelolaan, penelitian,pelatihan, pendampingan, dan sebagainya. Lembaga swasta ini melakukan aktivitasnya justru lebih banyak
dengan bantuan pihak swasta atau pemerintah asing dan atau dengan bantuan
anggotalembaga itu sendiri.
Kemitraan
berbasis masyarakat didasarkan tidak hanya pada hak dan kewajiban masyarakat
untuk turut mengembangkan kebudayaan nasional, dan tentu juga kebudayaan
daerah, tetapi juga pada kenyataan fisik bahwa sumber-sumber budaya memang berasal dan berada dalam pengelolaan
masyarakat/komunitas pemilik atau pendukung budaya yang bersangkutan. Masyarakat
tempatan pemilik budaya juga yang paling mengetahui bagaimana pengelolaan
tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana mereka masih membutuhkannya.
Masyarakat juga memiliki kekhasan masing-masing dalam memberi tanggapan
terhadap lingkungan alam dan kehidupannya yang berbeda-beda tersebar di seluruh
wilayah Indonesia dan sekaligus juga mereka memberi tanggapan terhadap setiap
perubahan yang datang. Di lain pihak, perubahan itu sendiri dan konteks sosial
yang terbentuk dari tanggapan masyarakat terhadap alam dan kehidupannya
mempengaruhi pembentukan kebudayaan Indoneia.
Kenyataan
memperlihatkan bahwa pemerintah, meskipun diamanatkan oleh UUD 45, pasal 32
sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat berbagai kebijakan
dan peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan upaya memajukan kebudayaan
nasional, tidak mungkin dan tidak
mampu bekerja sendiri. Dengan segala
konsekuensinya, pemerintah harus berupaya membuka akses kemitraan dengan pihak
masyarakat. Dalam membangun kemitraan ini perlu dikembangkan sikap saling
terbuka dan relasi yang terbentuk adalah
pemahaman untuk bekerja sama dalam posisi saling memberi. Di samping itu, peran
pemerintah diperlukan dalam menciptakan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas, khususnya pihak
pelaku industri/pengusaha. Secara bertahap hendaknya peran pemerintah dan
pengusaha/pemilik industri dapat ditingkatkan dan menagatasi peran lembaga
asing dalam mendukung peran masyarakat memajukan kebudayaan.
1.
Pengelolaan Warisan Budaya (Tradisi)
Seperti halnya yang terjadi di berbagai negara
lain, di Indonesia pun warisan budaya (ICH kuhususnya) makin lama
makin menghilang dan beberapa di antaranya mendekati kepunahan. Beberapa ragam
tradisi (ICH) juga yang mengalami perubahan, baik yang terjadi secara perlahan seperti
pada upacara ritual misalnya, maupun yang terjadi secara cepat karena tuntutan
situasi dan migrasi tradisi tersebut ke luar dari daerah asalnya. Proses
perubahan dan bahkan punahnya tradisi
(seringkali juga bersamaan dengan tiadanya pendukung tradisi) berarti
juga hilangnya seperangkat sistem pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai budaya
sebagai sumber berharga atau ensiklopedi dari suatu masyarakat. Dengan demikian
berarti pula identitas lokal yang dalam arti luas berarti juga identitas dan
karakter bangsa ikut menghilang secara berangsur-angsur. Dengan fungsi dan
perannya yang begitu penting, keberadaan tradisi harus dikelola dengan amat
baik dan bertanggung jawab dengan memperhatikan sebab-sebab terjadinya
perubahan dan kepunahan tersebut. Pengaruh negatif dari globalisasi, kehebatan
teknologi informasi dan industrialisasi sangat berperan. Selain itu, belum
adanya program pengelolaan yang melibatkan juga penghargaan yang tetap dan
berkelanjutan pada para penutur dan pemilik tradisi dan proses pewarisan yang
belum berjalan sesuai dengan kondisi masa kini juga merupakan penyebab makin
menghilangnya warisan budaya tersebut , baik sebagai living
tradition maupun sebagai memory
tradition.
Menghilangnya tradisi dari ingatan memori
pemiliknya atau punahnya tradisi
bersamaan dengan “punah”-nya penutur atau pemilik tradisi berarti terjadinya
sebuah bencana budaya. Bencana jenis ini memang tak tampak secara langsung
karena bukan seperti bencana alam atau bencana pertikaian antarmanusia yang
langsung dapat dikenali dan dirasakan akibatnya pada saat terjadi. Bencana
budaya sangat potensial mengakibatkan bencana lainnya yang berakibat fatal pada
hilangnya identitas dan karakter bangsa,
pemicu masalah sosial, bencana alam, dan pertikaian antarmanusia, serta
hancurnya peradaban dalam arti luas. Dalam artian ini ketahanan budaya sangat
signifikan dengan ketahanan bangsa dalam berbagai bidang.
Upaya untuk menjaga warisan budaya seperti
diungkapkan di atas muncul di berbagai negara dan dilakukan oleh berbagai
lembaga yang kompeten seperti UNESCO dengan berbagai program seperti “World
Heritage”, “Memory of The World”, dan membuat konvensi perlindungan budaya (Convention of Safeguarding Intangiable
Cultural Heritage, 2004) yang diratifikasi berbagai negara anggotanya,
termasuk Indonesia dengan SK Presiden pada tahun 2008 yang lalu.
Pertanyaan menarik yang dapat diajukan adalah
apakah yang memotivasi gerakan tersebut dan berkembangnya pemahaman peran penting warisan budaya
dalam identitas kultural tamadun suatu bangsa. Tidaklah berlebihan bila
dikatakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan kesadaran budaya ini bertolak
dari pandangan para ahli yang makin memahami peran budaya dalam mengubah banyak
hal, termasuk membangun perekonomian suatu bangsa (lih.Huntington, 2007). Mereka bertolak dari kenyataan bahwa
pembangunan ekonomi selama ini terbukti tidak dapat memperbaiki kualitas hidup
manusia secara ideal dan bahkan membuat masyarakat jadi amat tergantung pada
birokrasi sentralistik yang memiliki berbagai fasilitas dan akses. Selain itu,
perubahan dari budaya agraris ke budaya industri dan budaya pasca-industri
telah menyebabkan perubahan dalam tata kehidupan masyarakat, termasuk
masyarakat Indonesia. Secara sistematis dan terstruktur, pendekatan ekonometrik
yang sangat sentralistik (khususnya di Indonesia) telah meniadakan potensi
lokal untuk memperlihatkan kekuatan dan sekaligus keunggulan
komparatifnya. Dengan menaruh harapan
bahwa nilai-nilai budaya yang
dikembangkan untuk membangun ekonomi kerakyatan dapat menciptakan kemakmuran
yang adil dan merata, khususnya dalam meningkatkan daya saing tempatan,
berbagai program penanganan warisan budaya kemudian ditingkatkan.
Untuk melaksanakan hal tersebut, peran
masyarakat menjadi penting. Pemerintah meskipun diamanatkan oleh UUD45, pasal
32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat berbagai
kebijakan dan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan upaya memajukan kebudayaaan nasional, tidak
mungkin dan tidak mampu bekerja sendiri. Pemerintah dalam hal ini harus membangun sistem
kemitraan berbasis masyarakat yang tidak
hanya terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut menjaga
warisan budayanya, tetapi juga dimunculkan karena kesadaran bahwa sumber-sumber
warisan budaya berada dalam pengelolaan masyarakatnya. Masyarakat tempatan
pemilik warisan budaya yang bersangkutan juga yang paling mengetahui bagaimana
pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana mereka masih
memerlukannya.
2. Permasalahan
Pokok-pokok
pemikiran di atas, menjadi titik tolak untuk melihat berbagai fakta, proyeksi maupun
strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan potensi intangiable
cultural heritage di Indonesia.
Perlu ada upaya
pengembangan potensi, penyusunan langkah-langkah perlindungan,
pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya ICH, dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk
kesejahteraan masyarakat.
Perlu
sekali untuk membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi sebagai sebuah
kekuatan yang dengan itu sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik
dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemonidan kekuatan di luar
dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya
sebuah komunitas.
Paradigma berikutnya muncul juga dari kesadaran akan pentingnya tradisi sebagai sumber ilmu pengetahuan
yang memperlihatkan keunikan-keunikan lokal yang dihadapi dewasa ini. Para
pewaris tradisi dan komunitasnya semakin berkurang dan pada umumnya sangat terbatas
aksesnya untuk mendapatkan bantuan menjaga tradisinya. Ketika muncul tawaran
yang amat membantu mereka menyelesaikan permasalahan kongkrit sehari-hari yang
dihadapinya, pewarisan tradisi berubah atau bergeser menjadi komoditas industri. Dalam kaitan ini dapat diamati munculnya fenomena di
beberapa daerah, yaitu migrasi warisan budaya.
Contoh kongkrit adalah penawaran naskah tertua Melayu Jambi dari abad ke 14
Tanjung Tanah dari pihak Malaysia dengan
harga lebih dari I M. Bila tawaran ini
diterima, maka berpindahlah warisan budaya naskah tersebut ke luar dari tanah
asalnya. Begitulah yang terjadi dengan ribuan naskah kuna yang tersimpan dengan
amat baik di Perpustakaan KITLV Leiden. Dilematis permasalahannya: bila saja pihak Belanda tidak menyimpannya
belum tentu kita masih dapat memiliki khasanah berharga tersebut walaupun
tempat penyimpanannya bukan lagi di Indonesia.
Dengan segala permasalahan yang dipaparkan di
atas, secara ringkas dapat dikatakan sudah amat mendesak dilakukan tiga hal
berikut: Perlindungan, Pemeliharaan, dan Revitalisasi
Warisan Budaya. Pengembangan dan
penyediaan ahli di perguruan tinggi
ataupun pelaku aktif pengelola warisan budaya di tengah masyarakat perlu dilakukan serentak
dengan program ini mengingat akibat dan dampak yang
lebih membahayakan dari berbagai
hal: kesadarann identitas, marwah
bangsa, sumber pembentukan karakter dan pengembangan ekonomi kreatif dalam arti
luas. Motivasi positif untuk menjaga
tradisi sudah tumbuh baik, tetapi dukungan berbagai pihak terkait secara
terprogram dan berkesinambungan masih
dirasakan kurang.
Sesuai dengan kondisi yang dipaparkan di atas,
tradisi berada
dalam 3 kondisi, yaitu yang terancam punah, yang berubah atau dalam bentuk
transformasinya, dan yang dapat dikembangkan untuk berbagai kepentingan positif
(pendidikan, industri kreatif, pariwisata, dan sumber berbagai pengetahuan).
Pengelolaan tradisi dilakukan dengan 3 tahapan yang satu sama lain dapat saling
melengkapi atau berdiri sendiri, tergantung pada kondisi bersangkutan. Tahapan awal, yaitu Perlindungan yang akan mencakupi
kegiatan inventarisasi, klasifikasi, pemetaan,
dokumentasi, dan pendaftaran/registrasi secara lokal, nasional,
regional, dan internasional. Tahap kedua merupakan kegiatan Pemeliharaan atau Perawatan yang meliputi kegiatan dokumentasi,pendeskripsian, pementasan, dan pengkajian. Tahap terakhir,
yaitu kegiatan Revitalisasi yang
hanya dapat dilakukan dengan persyaratan khusus, yaitu sepanjang masyarakat
pemilik masih menginginkannya, maka berarti juga masih berfungsi bagi mereka.
Dapat dikatakan tradisi tersebut
mempunyai daya hidup yang lebih panjang dan lebih luas wilayah publiknya dan dimungkinkan tidak saja menjadi warisan budaya komunitas
lokalnya, tetapi menjadi warisan budaya bangsa dan antarbangsa.
(Tulisan ini diramu dari tulisan terdahulu yang menjadi pengantar
salah satu bagian dalam Draft Naskah Akademik RUU Kebudayaan tahun 2008 dan materi usulan pengelolaan warisan
budaya antarbangsa)
Download
Download
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, salam...