Jumat, 05 Oktober 2012

Pengelolaan Warisan Budaya

Oleh: Dr. Pudentia MPSS
1.    Pengantar

Peran masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana negara dan atau pemerintah menempatkan  masyarakat sebagai mitra atau bagaimana masyarakat diperlakukan sebagai mitra kerja pemerintah. Pengelolaan kemitraan berbasis masyarakat berarti melibatkan potensi masyarakat dan memberi tempat yang signifikan pada aktivitas mereka.  Sejalan dengan makin menguatnya peran  negara beberapa waktu  yang lampau, potensi masyarakat pernah dianggap sebagai ancaman. Akibatnya,  secara umum terjadi kevakuman atau ketidakpedulian masyarakat luas, khususnya akan hal-hal yang berkaitan dengan budaya.  Situasi dan paradigma pembangunan yang pernah berjalan yang menekankan pada pentingnya pembangunan ekonomi mengatasi yang lain amat berperan dalam membentuk ketidakpedulian dan sekaligus ketidaktahuan masyarakat akan berbagai hal yang bersangkut paut dengan budaya dan peran utamanya sebagai salah satu sumber pembentukan identitas kemanusiaan dan salah satu media efektif dalam penyampaian nilai-nilai.

                 Sejak  lama, bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan,secara khusus (maksudnya belum menjadi kesadaran nasional kecuali dalam bidang pendidikan)  masyarakat  telah melakukan berbagai hal untuk memajukan atau mengembangkan kebudayaan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memberikan dukungan nyata dalam pengelolaan sumber-sumber budaya. Dalam bidang pendidikan, misalnya, sekolah swasta telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan sekolah vokasional atau kejuruan yang diselenggarakan pihak swasta jauh lebih banyak daripada yang dikelola negara. Bali, dengan kesuksesannya mempromosikan pantai Kuta dan budayanya adalah contoh lain yang memperlihatkan peran swasta (asing) jauh lebih kuat daripada peran pemerintah. Banyak contoh lain dapat disebutkan untuk memperlihatkan peran nyata berbagai lembaga swasta di bidang budaya  dengan berbagai kekhususan dan kekhasannya dalam melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan, pengelolaan, penelitian,pelatihan, pendampingan, dan sebagainya.  Lembaga swasta ini  melakukan aktivitasnya justru lebih banyak dengan bantuan pihak swasta atau pemerintah asing dan atau dengan bantuan anggotalembaga itu sendiri. 

Pengelolaan kemitraan berbasis masyarakat berarti melibatkan potensi masyarakat dan memberi tempat yang signifikan pada aktivitas mereka.  Sejalan dengan makin menguatnya peran  negara beberapa waktu  yang lampau, potensi masyarakat pernah dianggap sebagai ancaman. Akibatnya secara umum terjadi kevakuman atau ketidakpedulian masyarakat luas akan hal-hal yang berkaitan dengan budaya.  Situasi dan paradigma pembangunan yang pernah berjalan yang menekankan pada pentingnya pembangunan ekonomi mengatasi yang lain amat berperan dalam membentuk ketidakpedulian dan sekaligus ketidaktahuan masyarakat akan berbagai hal yang bersangkut paut dengan budaya dan peran utamanya sebagai salah satu sumber pembentukan identitas kemanusiaan dan salah satu media efektif dalam penyampaian nilai-nilai.

     Sejak  lama , bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan,secara khusus (maksudnya belum menjadi kesadaran nasional kecuali dalam bidang pendidikan)  masyarakat  telah melakukan berbagai hal untuk memajukan atau mengembangkan kebudayaan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memberikan dukungan nyata dalam pengelolaan sumber-sumber budaya. Dalam bidang pendidikan, misalnya, sekolah swasta telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan sekolah vokasional atau kejuruan yang diselenggarakan pihak swasta jauh lebih banyak daripada yang dikelola negara. Bali, dengan kesuksesannya mempromosikan pantai Kuta dan budayanya adalah contoh lain yang memperlihatkan peran swasta (asing) jauh lebih kuat daripada peran pemerintah. Banyak contoh lain dapat disebutkan untuk memperlihatkan peran nyata berbagai lembaga swasta di bidang budaya  dengan berbagai kekhususan dan kekhasannya dalam melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan, pengelolaan, penelitian,pelatihan, pendampingan, dan sebagainya.  Lembaga swasta ini  melakukan aktivitasnya justru lebih banyak dengan bantuan pihak swasta atau pemerintah asing dan atau dengan bantuan anggotalembaga itu sendiri. 

                 Kemitraan berbasis masyarakat didasarkan tidak hanya pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut mengembangkan kebudayaan nasional, dan tentu juga kebudayaan daerah, tetapi juga pada kenyataan fisik bahwa sumber-sumber budaya   memang berasal dan berada dalam pengelolaan masyarakat/komunitas pemilik atau pendukung budaya yang bersangkutan. Masyarakat tempatan pemilik budaya juga yang paling mengetahui bagaimana pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana mereka masih membutuhkannya. Masyarakat juga memiliki kekhasan masing-masing dalam memberi tanggapan terhadap lingkungan alam dan kehidupannya yang berbeda-beda tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan sekaligus juga mereka memberi tanggapan terhadap setiap perubahan yang datang. Di lain pihak, perubahan itu sendiri dan konteks sosial yang terbentuk dari tanggapan masyarakat terhadap alam dan kehidupannya mempengaruhi pembentukan kebudayaan Indoneia.    
                 Kenyataan memperlihatkan bahwa pemerintah, meskipun diamanatkan oleh UUD 45, pasal 32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat berbagai kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan upaya memajukan kebudayaan nasional,  tidak mungkin dan tidak mampu  bekerja sendiri. Dengan segala konsekuensinya, pemerintah harus berupaya membuka akses kemitraan dengan pihak masyarakat. Dalam membangun kemitraan ini perlu dikembangkan sikap saling terbuka dan relasi yang terbentuk  adalah pemahaman untuk bekerja sama dalam posisi saling memberi. Di samping itu, peran pemerintah diperlukan dalam menciptakan berbagai kebijakan untuk meningkatkan  kesadaran masyarakat luas, khususnya pihak pelaku industri/pengusaha. Secara bertahap hendaknya peran pemerintah dan pengusaha/pemilik industri dapat ditingkatkan dan menagatasi peran lembaga asing dalam mendukung peran masyarakat memajukan kebudayaan.

1.        Pengelolaan Warisan Budaya (Tradisi)

                 Seperti halnya yang terjadi di berbagai negara lain, di Indonesia pun warisan budaya (ICH kuhususnya)  makin lama makin menghilang dan beberapa di antaranya mendekati kepunahan. Beberapa ragam tradisi (ICH) juga yang mengalami perubahan, baik yang terjadi secara perlahan seperti pada upacara ritual misalnya, maupun yang terjadi secara cepat karena tuntutan situasi dan migrasi tradisi tersebut ke luar dari daerah asalnya. Proses perubahan dan bahkan punahnya tradisi  (seringkali juga bersamaan dengan tiadanya pendukung tradisi) berarti juga hilangnya seperangkat sistem pengetahuan tradisional,  kearifan lokal, dan nilai-nilai budaya sebagai sumber berharga atau ensiklopedi dari suatu masyarakat. Dengan demikian berarti pula identitas lokal yang dalam arti luas berarti juga identitas dan karakter bangsa ikut menghilang secara berangsur-angsur. Dengan fungsi dan perannya yang begitu penting, keberadaan tradisi harus dikelola dengan amat baik dan bertanggung jawab dengan memperhatikan sebab-sebab terjadinya perubahan dan kepunahan tersebut. Pengaruh negatif dari globalisasi, kehebatan teknologi informasi dan industrialisasi sangat berperan. Selain itu, belum adanya program pengelolaan yang melibatkan juga penghargaan yang tetap dan berkelanjutan pada para penutur dan pemilik tradisi dan proses pewarisan yang belum berjalan sesuai dengan kondisi masa kini juga merupakan penyebab makin menghilangnya warisan budaya tersebut , baik sebagai living tradition maupun sebagai memory tradition.

                 Menghilangnya tradisi dari ingatan memori pemiliknya atau punahnya  tradisi bersamaan dengan “punah”-nya penutur atau pemilik tradisi berarti terjadinya sebuah bencana budaya. Bencana jenis ini memang tak tampak secara langsung karena bukan seperti bencana alam atau bencana pertikaian antarmanusia yang langsung dapat dikenali dan dirasakan akibatnya pada saat terjadi. Bencana budaya sangat potensial mengakibatkan bencana lainnya yang berakibat fatal pada hilangnya identitas  dan karakter bangsa, pemicu masalah sosial, bencana alam, dan pertikaian antarmanusia, serta hancurnya peradaban dalam arti luas. Dalam artian ini ketahanan budaya sangat signifikan dengan ketahanan bangsa dalam berbagai bidang.

                 Upaya untuk menjaga warisan budaya seperti diungkapkan di atas muncul di berbagai negara dan dilakukan oleh berbagai lembaga yang kompeten seperti UNESCO dengan berbagai program seperti “World Heritage”, “Memory of The World”, dan membuat konvensi perlindungan budaya (Convention of Safeguarding Intangiable Cultural Heritage, 2004) yang diratifikasi berbagai negara anggotanya, termasuk Indonesia dengan SK Presiden pada tahun 2008 yang lalu.

                Pertanyaan menarik yang dapat diajukan adalah apakah yang memotivasi gerakan tersebut dan berkembangnya pemahaman peran penting warisan budaya dalam identitas kultural tamadun suatu bangsa. Tidaklah berlebihan bila dikatakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan kesadaran budaya ini bertolak dari pandangan para ahli yang makin memahami peran budaya dalam mengubah banyak hal, termasuk membangun perekonomian suatu bangsa (lih.Huntington, 2007).  Mereka bertolak dari kenyataan bahwa pembangunan ekonomi selama ini terbukti tidak dapat memperbaiki kualitas hidup manusia secara ideal dan bahkan membuat masyarakat jadi amat tergantung pada birokrasi sentralistik yang memiliki berbagai fasilitas dan akses. Selain itu, perubahan dari budaya agraris ke budaya industri dan budaya pasca-industri telah menyebabkan perubahan dalam tata kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Secara sistematis dan terstruktur, pendekatan ekonometrik yang sangat sentralistik (khususnya di Indonesia) telah meniadakan potensi lokal untuk memperlihatkan kekuatan dan sekaligus keunggulan komparatifnya.  Dengan menaruh harapan bahwa nilai-nilai  budaya yang dikembangkan untuk membangun ekonomi kerakyatan dapat menciptakan kemakmuran yang adil dan merata, khususnya dalam meningkatkan daya saing tempatan, berbagai program penanganan warisan budaya kemudian ditingkatkan.

             Untuk melaksanakan hal tersebut, peran masyarakat menjadi penting. Pemerintah meskipun diamanatkan oleh UUD45, pasal 32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat berbagai kebijakan dan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan  upaya memajukan kebudayaaan nasional, tidak mungkin dan tidak mampu bekerja sendiri. Pemerintah  dalam hal ini harus membangun sistem kemitraan berbasis masyarakat yang tidak

hanya terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut menjaga warisan budayanya, tetapi juga dimunculkan karena kesadaran bahwa sumber-sumber warisan budaya berada dalam pengelolaan masyarakatnya. Masyarakat tempatan pemilik warisan budaya yang bersangkutan juga yang paling mengetahui bagaimana pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana mereka masih memerlukannya.

2.  Permasalahan

                 Pokok-pokok pemikiran di atas, menjadi titik tolak untuk melihat berbagai fakta, proyeksi maupun strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan potensi  intangiable cultural heritage di Indonesia. Perlu ada upaya pengembangan potensi, penyusunan  langkah-langkah perlindungan, pengembangan  dan pemanfaatan  warisan budaya ICH,  dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk kesejahteraan masyarakat.

                 Perlu sekali untuk membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi sebagai sebuah kekuatan yang dengan itu sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemonidan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi  merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas.

                 Paradigma berikutnya muncul juga dari kesadaran akan pentingnya tradisi sebagai sumber ilmu pengetahuan yang memperlihatkan keunikan-keunikan lokal yang dihadapi dewasa ini. Para pewaris tradisi dan komunitasnya semakin berkurang dan pada umumnya sangat terbatas aksesnya untuk mendapatkan bantuan menjaga tradisinya. Ketika muncul tawaran yang amat membantu mereka menyelesaikan permasalahan kongkrit sehari-hari yang dihadapinya, pewarisan tradisi berubah atau bergeser  menjadi komoditas industri. Dalam kaitan ini dapat diamati munculnya fenomena di beberapa daerah, yaitu migrasi warisan budaya. Contoh kongkrit adalah penawaran naskah tertua Melayu Jambi dari abad ke 14 Tanjung Tanah  dari pihak Malaysia dengan harga lebih dari I M. Bila tawaran ini diterima, maka berpindahlah warisan budaya naskah tersebut ke luar dari tanah asalnya. Begitulah yang terjadi dengan ribuan naskah kuna yang tersimpan dengan amat baik di Perpustakaan KITLV Leiden. Dilematis  permasalahannya: bila saja pihak Belanda  tidak menyimpannya belum tentu kita masih dapat memiliki khasanah berharga tersebut walaupun tempat penyimpanannya bukan lagi di Indonesia.

                 Dengan segala permasalahan yang dipaparkan di atas, secara ringkas dapat dikatakan sudah amat mendesak dilakukan tiga hal berikut: Perlindungan, Pemeliharaan, dan Revitalisasi Warisan Budaya. Pengembangan dan penyediaan ahli di perguruan tinggi ataupun pelaku aktif pengelola warisan budaya di tengah masyarakat perlu dilakukan serentak dengan program ini mengingat akibat dan dampak yang lebih membahayakan dari berbagai  hal:  kesadarann identitas, marwah bangsa, sumber pembentukan karakter dan pengembangan ekonomi kreatif dalam arti luas. Motivasi positif untuk menjaga tradisi sudah tumbuh baik, tetapi dukungan berbagai pihak terkait secara terprogram dan  berkesinambungan masih dirasakan kurang.   

                 Sesuai dengan kondisi yang dipaparkan di atas, tradisi berada dalam 3 kondisi, yaitu yang terancam punah, yang berubah atau dalam bentuk transformasinya, dan yang dapat dikembangkan untuk berbagai kepentingan positif (pendidikan, industri kreatif, pariwisata, dan sumber berbagai pengetahuan). Pengelolaan tradisi dilakukan dengan 3 tahapan yang satu sama lain dapat saling melengkapi atau berdiri sendiri, tergantung pada kondisi  bersangkutan. Tahapan awal, yaitu Perlindungan yang akan mencakupi kegiatan inventarisasi, klasifikasi, pemetaan,  dokumentasi, dan pendaftaran/registrasi secara lokal, nasional, regional, dan internasional. Tahap kedua merupakan kegiatan Pemeliharaan atau Perawatan yang meliputi kegiatan dokumentasi,pendeskripsian,  pementasan, dan pengkajian. Tahap terakhir, yaitu kegiatan Revitalisasi yang hanya dapat dilakukan dengan persyaratan khusus, yaitu sepanjang masyarakat pemilik masih menginginkannya, maka berarti juga masih berfungsi bagi mereka. Dapat dikatakan tradisi tersebut mempunyai daya hidup yang lebih panjang dan lebih luas wilayah publiknya dan dimungkinkan tidak saja menjadi warisan budaya komunitas lokalnya, tetapi menjadi warisan budaya bangsa dan antarbangsa.
          
(Tulisan ini diramu dari tulisan terdahulu yang menjadi pengantar salah satu bagian dalam Draft Naskah Akademik RUU Kebudayaan tahun 2008 dan materi usulan pengelolaan warisan budaya antarbangsa)

Download



0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, salam...

    Kategori

    Tentang ATL

    Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi merupakan wadah sekumpulan orang-orang yang prihatin terhadap tradisi yang semakin lama semakin berkurang para penuturnya. Sekarang kami bermarkas di Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Silakan kontak kami di email atl_jambi@yahoo.com

    Pengelola

    Pemerhati