Selasa, 25 Desember 2012

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

PPN VI Jambi Buka Pendaftaran Seminar Internasional (29/12/12)

Jika sahabat sekalian ingin mengikuti tujuh sesi Seminar Internasional Pertemuan Penyair Nusantara VI Jambi, yang berlangsung dari tanggal 29 hingga 30 Desember 2012, dipersilahkan mendaftarkan diri lansung ke lokasi kegiatan, Hotel Ratu, ruangan Sumatera pada tanggal 29 Desember 2012, pukul 07.30-08.30. Syarat keikut-sertaan bagi peserta di luar penyair lolos seleksi adalah:

1) Mengisi formulir seminar
2) Kontribusi Peserta Rp. 150.000

Fasilitas yang didapatkan peserta adalah:
1) Sertifikat Seminar Internasional PPN VI Jambi (International Poet Gathering)
2) Bunga Rampai Makalah PPN VI Jambi.

Peserta terbatas untuk 50 orang.
Jika berminat, segera hubungi panitai bidang seminar, 
saudara Nukman (08126794438) dan Firdaus (082184565172).

Rabu, 21 November 2012

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Mengenalkan Tradisi di Ajang Bergengsi

Alhamdulillah acara pembukaan Perkemahan Putri Tingkat Nasional (Perkempinas) telah dibuka dengan sukses. Seperti diketahui Provinsi Jambi dipercaya untuk menjadi tuan rumah dalam acara Perkempinas tahun 2012 ini. Acara yang bergengsi ini rencananya akan dilaksanakan selama satu pekan yakni dari tanggal 17 sampai 23 November 2012 yang bertempat di Bumi Perkemahan Sungai Gelam Muarojambi.

Sebagai panitia pelaksana berbagai persiapan telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jambi, mulai dari penyambutan peserta sampai pada masalah penginapan dan transfortasi. Acara Perkempinas ini dihadiri oleh kontingen dari berbagai Kwartir Daerah (Kwarda) diseluruh Indonesia. Di samping Kwartir Daerah, Kwartir Nasional (Kwarnas) juga mengundang utusan dari negara-negara sahabat.

Acara tiga tahunan ini sebelumnya diperkirakan akan dihadiri oleh 2.000 orang peserta dari masing-masing Kwarda seluruh Indonesia dan ditambah beberapa orang utusan dari negara-negara sahabat di Asia. Tentu dengan 2.000 orang peserta bukanlah jumlah yang sedikit dalam sebuah kegiatan. Sehingga akan sangat disayangkan kalau peserta yang banyak ini hanya sekadar mengikuti acara perkemahan saja.

Pemerintah Provinsi Jambi tentunya dituntut lebih jeli dalam melihat ajang ini. Karena ini menjadi momen yang baik untuk mempromosikan daerah kepada dunia luar. Seperti diketahui di masing-masing kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Jambi memiliki berbagai budaya, tradisi serta objek wisata alam yang cukup banyak dan menarik yang sampai hari ini masih belum terekspose secara optimal.

Melalui kegiatan Perkempinas ini diharapkan Pemerintah Provinsi Jambi bisa menjadikan Perkempinas pintu masuk sebagai media mempromosikan keberagaman budaya, tradisi serta objek wisata alam masyarakat Jambi yang selama ini tertutup dan belum banyak dilirik oleh dunia luar.

Ajang Promosi Pariwisata  
Wisata Alam. Karena kegiatan Perkempinas ini menjadi kegiatan nasional yang melibatkan kabupaten dan kota di seluruh Indonesia tentunya akan sangat berperan sekali dalam usaha memperkenalkan wisata alam yang ada di Provinsi Jambi di tingkat nasional dan kepada negara-negara tetangga. Tinggal bagaimana kreativitas Pemerintah Provinsi Jambi dalam hal ini Dinas Pariwisata berkolaborasi dengan panitia pelaksana mengemas bentuk acara.

Usaha ke arah itu sebagian telah ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Ini dibuktikan dengan menjadikan beberapa objek wisata di Provinsi Jambi menjadi subcamp pada kegiatan ini. Salah satunya adalah di Candi Muarojambi. Di samping menjadikan Candi Muarojambi sebagai salah satu subcamp pada kegiatan ini juga mestinya disertakan dengan memberikan penjelasan-penjelasan seputar sejarah Jambi sebagai bentuk gambaran umum tentang sejarah Candi Muarojambi. Selain memperkenalkan objek wisata yang ada di Provinsi Jambi, dengan cara ini kita juga dapat mencari dukungan dari masyarakat luar untuk menjadikan Candi Muarojambi sebagai warisan dunia. Selanjutnya di subcamp lain melalui kegiatan ini kita bisa mengenalkan kepada peserta tentang Taman Bumi (Geo Park) di Kabupaten Merangin. Di sana mereka bisa melihat berbagai macam fosil flora dan fauna yang telah ada sejak ribuan tahun lalu yang dapat menambah pengetahuan mereka. Masih banyak lagi objek wisata yang bisa kita promosikan kepada para peserta dan para tamu undangan dalam acara ini.

Dengan demikian dalam kegiatan ini para peserta dan para undangan tidak hanya mendapat pengalaman dalam bidang kepramukaan saja, akan tetapi mereka juga bisa menikmati objek wisata yang ada di Provinsi Jambi. Dengan cara ini promosi pariwisata tentu akan lebih efektif dan efisien.

Wisata Budaya. Dalam hal wisata budaya dan tradisi dalam kegiatan ini kita bisa menampilkan keberagaman budaya dan tradisi dari masing-masing kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Jambi. Penampilan ini bisa dalam bentuk pertunjukan khusus atau dalam bentuk selingan. Pertunjukan khusus maksudnya adalah dengan memasukkan kegiatan ini menjadi salah satu bagian dari kegiatan pada acara Perkempinas. Kemudian dalam bentuk selingan yaitu dengan menghadirkan pertunjukkan budaya dan tradisi untuk menyelingi kegiatan-kegiatan inti. Bisa pada saat istirahat makan siang atau makan malam atau juga mungkin pada saat pergantian jenis kegiatan.

Jika memungkinkan lagi para peserta dan para tamu undangan bisa diajak untuk menemui langsung para pelaku tradisi. Sehingga mereka bisa melihat langsung bagaimana kehidupan masyarakat dimana tradisi itu masih hidup dan bagaimana pula sesungguhnya kehidupan para pelaku tradisi itu. Kita ambil contoh tradisi lisan Senandung Jolo dari Desa Tanjung, Kabupaten Muarojambi yang sampai saat ini para pelaku tradisi atau penutur tradisinya hanya tinggal dua orang saja yang sampai saat ini belum ada regenerasinya. Ada juga tradisi lisan Krinok dari Kabupaten Bungo yang menjadi wujud kesenian masyarakat asli Bungo. Begitu juga dengan tradisi lisan Tale di Kabupaten Kerinci yang semakin lama semakin hilang seiring berkurang penuturnya, padahal ini merupakan kekayaan yang perlu kita jaga dan kita lestarikan salah satunya dengan memperkenalkan tradisi ini kepada masyarakat umum.

Dengan mengajak para peserta dan tamu undangan ke daerah-daerah mereka bisa belajar langsung tentang tradisi dari pelaku tradisi. Tentu ini akan sangat menarik dan akan berkesan ketika peserta yang mungkin selama ini sudah pernah dengar atau baca sedikit sejarah tentang tradisi dan budaya melayu Jambi, tetapi melalui kegiatan ini mereka bisa belajar langsung dari pelaku tradisi yang mengabdikan hidupnya untuk mempertahankan tradisi yang saat ini hampir saja hilang dan punah.

Peningkatan Ekonomi Bagi Masyarakat
Di samping memberikan arti penting bagi pariwisata di Provinsi Jambi, kegiatan ini juga akan berpangaruh bagi peningkatan ekonomi bagi masyarakat kita. Apa lagi ke depan kalau saja pelayanan dan kemasan pariwisata kita baik dan menarik tentu dengan sendirinya mereka berbagi pengalaman selama mereka di Jambi dengan memberikan informasi kepada teman atau keluarga, karib kerabat mereka tentang keindahan, kenyamanan, serta keberagaman budaya dan tradisi di Jambi, dan ini tentunya akan membawa pengaruh yang positif bagi perkembangan pariwisata di Jambi.

Dengan semakin ramainya wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Provinsi Jambi tentunya perhotelan yang ada di Provinsi Jambi akan ramai dikunjungi, Begitu juga dengan tempat-tempat yang menyajikan berbagai makanan dan hiburan. Kalau pariwisata kita bisa berkembang dengan baik tentu perputaran uang juga akan semakin cepat yang akan berdanpak pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga pertumbuhan ekonomi dan pembangunan masyarakat di Provinsi Jambi juga akan lebih cepat.

Dengan demikian ajang yang bergengsi ini tidak berlalu begitu saja, tetapi akan meninggalkan bekas bagi seluruh peserta dan Provinsi Jambi selaku tuan rumah. Bak pepatah mengatakan“menyelam sambil minum air”. Sehingga tidak hanya Perkempinas yang kita laksanakan akan tetapi program lain tetap bisa berjalan seiring, dan budaya, tradisi serta objek wisata alam Provinsi Jambi akan lebih dikenal. Semoga ajang ini tidak akan menjadi ajang yang sia-sia.  

Kamis, 08 November 2012

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Tradisi Lisan Harus Dilestarikan

ATL, Asosiasi Tradisi Lisan, adalah lembaga non profit yang bergerak dalam bidang tradisi lisan. Awalnya disebut Proyek Tradisi Lisan Nusantara dan didirikan tahun 1992. ATL mempublikasikan teks-teks yang merupakan hasil transkripsi tradisi lisan.
Tahun 1993 Proyek ini menyusun seminar internasional mengenai tradisi lisan, bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dan Ford Foundation. Lembaga non profit ATL ini sudah membentuk cabang di semua daerah. Sejak 1993 secara berkala melakukan seminar internasional dengan aneka tema tergantung perkembangan tradisi lisan. Seminar mendatang (19-22 Desember) digelar di Bangka Belitung.

Turun Temurun
Ibu Dafirah Asad, bapak Muhamad Amin Abdullah dan bapak Asrif adalah tiga dari delapan peniliti tradisi lisan Indonesia yang berada di Belanda untuk mencari data tambahan.

Dihidupkan Kembali
Mengingat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tradisi lisan, maka masih banyak karya budaya yang tersimpan dalam bentuk lisan. Untuk menyelamatkan tradisi ini timbullah program untuk menggali pengetahuan masyarakat melalui kajian tradisi lisan, karena kajian naskah dalam bidang ini belum ada, tentunya.
Bencana Aceh misalnya, ternyata sudah banyak diprediksikan secara lisan oleh masyarakat lokal. Musibah Merapi: menurut tradisi lisan orang Jawa, kalau binatang turun dari gunung, itu mempratandakan musibah. Dan ilmu ini hanya tersimpan dalam memori, tidak ditemukan dalam buku-buku. Karena itu, sangat penting kajian tradisi lisan ini dihidupkan kembali.

Sumber Pengetahuan
Tradisi lisan bisa menjadi sumber pengetahuan dan oleh karena itu kita akan lebih arif melihat masyarakat kita. Tradisi lisan bisa menjadi perspektif untuk melihat ke depan. Tapi yang penting terlebih dahulu mengumpulkan datanya. Berarti bisa dipakai dalam kajian pembangunan, karena saat ini Indonesia terlalu mengikuti pola negara tetangga, padahal kita memiliki kelisanan yang lebih cocok.

Muatan Lokal
Di samping melakukan seminar-seminar internasional, ATL juga menerbitkan buku dan bekerjasama dengan Yayasan Obor. Penerbitan buku adalah salah satu upaya revitalisasi tradisi lisan, di samping melakukan pendampingan penutur itu sendiri.
Membuat generasi masa kini antusias terhadap tradisi lisan, adalah pekerjaan rumah yang berat bagi ATL. Mereka bisa dijangkau melalui buku.

Bangga dan Percaya Diri
Bapak Asrif yang meneliti 'Nyanyian Tradisonal Kabanti: Hakikat Penciptaan, Kelisanan dan Seni Pertunjukan', mengatakan bahwa dampak revitalisasi tardisi lisan di Wakatobi membuat masyarakat loka merasa percaya diri dan bangga karena budaya mereka dipandang tinggi oleh orang lain. Tradisi ini menjadi sumber identitas dan kesejahteraan masyarakat lokal. Itu adalah salah satu efek kegiatan seminar ATL.


Tradisi lisan, kata ibu Dafirah Asad, yang meneliti 'Tradisi Lisan Didek dalam Masyarakat Selayar',  adalah kebiasaan orang-orang dahulu menyampaikan sesuatu secara tidak tertulis. Penyampaiannya berlangsung turun-temurun. Di masa kini pewarisan turun temurun itulah yang menjadi masalah, mungkin karena pengaruh tradisi tulis yang lebih kuat.
Bapak Muhamad Amin Abdullah, yang meniliti tradisi lisan dalam musik ('Pengaruh Kebijakan Politik/Kebidayaan terhadap Budaya gong di Sulteng'), mengatakan berbeda dari tradisi musik klasik Eropa barat, yang mewariskan musik melalui partitur, musik Indonesia justru mewariskannya secara lisan. Pewarisan dilakukan dalam kelompok kerabat, kelompok spesifik. Berarti ada hal-hal tertentu yang tidak bisa diwariskan secara luas. Tradisi lisan dalam musik dipelajari oleh para etnomusikologi, ilmu perpaduan antara musik dan antropologi.
Dengan menghidupkan kembali tradisi lisan, back to basics, di zaman digital ini, bukan berarti kita menolak globalisasi; kita justru harus berpijak dari latar belakang lisan itu dan mencari titik temunya dengan zaman moderen ini. Bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi globalisasi, adalah pertanyaan penting yang tentu jawabannya berbeda dari misalnya jawaban orang Australia. Kalau kita benar-benar mengetahui kebudayaan kita melalui kajian-kajian tradisi lisan, maka kita mempunyai landasan yang kuat untuk menghadapi globalisasi itu.
Mantra, nyayian rakyat, lagu-lagu permainan anak-anak (lagu dolanan) termasuk tradisi lisan dan itu harus diolah dan dikaji. Para peniliti optimis dengan kajian tradisi lisan ini Indonesia tidak akan kehilangan identitasnya. Muatan lokal tradisi lisan sudah mulai ada, jadi anak-anak muda sudah mulai mengenal tradisi lisan ini melalui pendidikan.. Dengan beasiswa dan kerjasama dengan DIKTI  ATL kerjasama dengan dunia akademisi supaya ada peniliti tradisi lisan berikutnya.
Yang penting bagaimana tradisi lisan ini bisa aktif kembali di kalangan masyarakat lokal: melalui pendidikan dan pertunjukan.

Selasa, 30 Oktober 2012

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Catatan Kecil Mengenai Eksotisme dan Sastra

Oleh: Tommy. Christomy, Ph.D.*

Eksotisme (excotisme) secara harfiah adalah sesuatu yang  ‘aneh’ atau belum ‘terfahami’.  Menurut kamus, exoticism is the quality of seeming unusual or interesting, usually because of associations with a distant country” (Cobuild) . Eksotisme adalah suatu keadaan yang tidak biasa atau sesuatu yang menarik perhatian, biasanya karena keterkaitannya dengan suatu negeri yang jauh. 

Setakat ini, persoalan eksotisme yang saya fahami lebih banyak terkait dengan persoalan-persoalan gagasan dan sudut pandang yang terkait dengan praktik kolonial. Karena sudut pandang sifatnya subjektif, atau setidaknya sangat dipengaruhi latar belakang sosial budaya seseorang, eksotisme dianggap sebagai sebuah bangun perpsektif tertentu. Persoalannya, tidak semua pihak sadar pada persoalan sudut pandang ini dan acap begitu saja menerima perspektif yang telah terumuskan bangsa lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Edward Said (1995:87—91). Menurutnya orientalisme mengekspresikan dan merepresentasikan baik secara kultural maupun ideologis wacana-wacana yang  berkaitan dengan khasanah pengetahuan, citra, doktrin dan bahan birokrasi dan gaya hidup kolonial. Mengikuti cara pandang seperti ini, wacana kolonial dianggap telah ikut serta membangun realitas kesusastraan. Dalam catatan singkat ini akan dipaparkan beberapa ilustrasi mengenai bagaimana wacana kolonial mengenai ‘eksotisme’ bersinggungan dengan kehidupan sastra kita. Tulisan singkat ini sebagai bahan diskusi lebih lanjut mengenai eksotisme dalam sastra Indonesia.

            Portugis masuk ke Nusantara abad 15 dan setelah itu, gelombang demi gelombang seperti tak terbendung:  Spanyol, Belanda, dan Inggris turut meramaikan Nusantara.  Kedatangan mereka ke Nusantara sudah barang tentu membutuhkan bahan bacaan yang terkait dengan tujuan kehadiran mereka di sini. Mulailah diantara mereka mengumpulkan naskah-naskah yang berkaitan dengan sastra, sejarah, keagamaan, dan genre lainnya dari berbagai daerah yang ada di Nusantara. Pada awalnya, mereka datang ke Nusantara sebagai bagian dari gejolak ‘menemukan dunia baru’, suatu kegiatan eksplorasi besar-besaran yang dilakukan oleh seluruh kerajaan di eropa barat terutama setelah mereka memenangkan ‘crusader’  atau perang salib yang mendorong Islam mundur. Sebagian mereka ada yang mampu merambah Amerika dan sebagian lain bisa tembus sampai India dan kemudian ke Nusantara lewat laut. Para pedagang  yang kemudian menjelma penjajah tersebut membangun koloni-koloni mereka sambil membawa sebagian keluarga, tatanan sosial dan budaya mereka. Kehadiran perjalanan eksplorasi kolonial seperti itu tentu juga berpengaruh bagi kebudayaan yang sudah ada.

Untuk memahami kebudayaan setempat para peneliti Belanda di masa awal, misalnya, banyak mengumpulkan naskah-naskah sastra  dan menerjemahkannya. Awalnya mereka mengumpulkan  benda-benda budaya (material culture) tapi kemudian mereka juga banyak mencatat bahasa dan kesusastraan kita. Pada mulanya untuk keperluan pengajaran kompeni yang akan ditempatkan di beberapa daerah di Nusantara, lama kelamaan merambah ke ekspresi budaya lainnya. Kegitan mereka itu kemudian dikumpulan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang didirkan di Batavia pada tahun 1778 yang kemudian berubah menjadi, "Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia", Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen  pada tahun 1990. ,"Ikatan Kesenian dan Ilmu Kerajaan di Batavia”. Melalui lembaga inilah para peneliti dan peminat kebudayaan Indonesia menyampaikan dan mengumpulkan temuannya.

Di wilayah jajahan Inggris yang perlu saya sebut di sini adalah R.O. Winsted. R.O. Winsted lulusan Oxford yang pada tahun 1902 ditempatkan di Perak, Semenanjung Malaysia, selain menjadi administrator dia juga punya ketertarikan pada ilmu sastra. Selama di Malaysia itulah kemudian dia menulis sebuah buku yang sangat penting dengan judul Malay Literature (1907). Berbeda dengan penulis Belanda yang lebih banyak mengumpulan bahan-bahan tertulis dan folklor dari seluruh kepulauan Nusantara, Sir Richard Winsted seperti ditulis oleh E. C. G. Barrett,  dalam "Obituary: Sir Richard Winstedt", Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 30, No. 1, 1967, pp. 272–275, menyebutkan bahwa dialah salah satu ilmuwan Inggris pertama yang telah melakukan kajian sistematis terhadap kebudayaan Melayu khususnya sastra melayu. Bukunya yang Malay Literature (1907) mempunyai pengaruh cukup penting dalam studi kesusastraan Melayu. Kendati  kemudian banyak dikritik, dan pikiran-pikirannya tentang sastra mulai ditinggalkan, peneliti sastra Nusantara tidaklah mungkin tidak membaca karya dia sebelumnya.  Pendapat yang kemudian mendapat banyak kritik adalah cara dia melihat karya sastra Melayu dengan perspektif kolonial. Menurutnya, karya sastra Melayu tidak seperti ‘punya kita’ dan nilainya sangat ‘buruk’ jika dibandingkan dengan karya sastra Eropa.

Di satu sisi, seperti halnya pandangan para intelektual kolonial lainnya, karya sastra dianggap sebagai bagian yang eksotis dan  layak diperkenalkan ke dunia Barat. Pada saat yang sama dia juga ‘menilai’ karya sastra nusantara sebagai lebih rendah dari sastra Eropa dalam hal estetika dan gaya. Pendapat seperti itu sudah barang tentu menjadi bagian yang syah darinya sebagai kepanjangan dunia pengetahuan barat yang ingin mengetahui apa-apa yang ada di dunia timur. Namun, hal itu menjelaskan kontradiksi pikiran-pikiran kolonial atas khasanah sastra kita.

Ketika sistem percetakan ditemukan terjadi revolusi besar-besaran dan mengubah cara karya sastra disebarkan. Kalau semula hanya disalin dengan tulisan tangan, pada abad 19 karya sastra telah dicetak dan diterbitkan. Pengaruhnya sangat besar pada dunia sastra. Selain penulis tidak lagi anonim, karya sastra telah masuk ke dunia industri dengan segala macam kaidahnya. Di sini pertimbangan-pertimbangan baru mengenai karya sastra kemudian muncul. Pada abad 18/19 yang paling siap menyongsong industri penerbitan adalah masyarakat peranakan karena status sosial ekonomi mereka yang setingkat lebih tinggi dari orang kebanyakan. Maka tidaklah mengherankan di masa-masa ini banyak penulis peranakan menulis kisah ‘abu-abu’ di surat kabar, yakni cerita-cerita yang tidak termasuk pada kategori ‘berita’ tapi kisah yang mereka sebut “ini kisah jang beteol-betoel terjadi”. Kisah-kisah mereka disurat kabar Batavia itu menjadi cikal bakal sastra .

Ketika penulis pribumi kemudian punya kesempatan menerbitakan karya-karya dalam sistem penerbitan ‘gaya baru’ dengan aroma kapitalisme melalui Balai Pustaka, dengan sangat yakin, pihak kolonial merasa mampu membagi dua dunia sastra: sastra yang ‘utama’ dan sastra yang diluar sistem tata nilai mereka yang disebut ‘picisan’. Pada taraf ini eksotisme yang menjadi titik tolak mereka telah ditransformasikan lebih lanjut sebagai upaya untuk mengontrol dan mengarahkan kehidupan sastra Indonesia. Upaya kolonial tidak bertepuk sebelah tangan karena segera mendapat sambutan dari penulis Nusantara.  Dampak dari kebijakan sastra kolonial begitu penting pada perkembangan sastra kita. Dia tidak hanya memperkenalkan genre sastra baru (roman atau novel) tapi mengubah pandangan mengenai bagaimana seharusnya kita membuat dan menikmati sastra.

 * Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia 


Rabu, 10 Oktober 2012

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Kantor Bahasa Provinsi Jambi Dalam Mengelola Sastra Daerah dan Tradisi Lisan

Oleh: Yon Adlis
Abstrak
            Bahasa merupakan alat transmisi budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Kepunahan, menurun, dan melemahnya fungsi suatu bahasa berarti  memiliki implikasi pada lemah, hilang, atau punahnya suatu kekayaan budaya. Kelestarian bahasa, khususnya bahasa daerah, akan memperkuat ketahan budaya daerah yang termasuk di dalamnya sastra lisan dan tradisi lisan. Memanfaatkan potensi budaya daerah seperti sastra lisan dan tradisi lisan sebagai sumber pendidikan karakter merupakan revitalisasi kepribadian anak bangsa yang dibentuk melalui pendidikan yang berbasis budaya.

1. Latar belakang
Suatu hal yang sungguh ironis dan menyedihkan memang kalau suatu saat nanti, entah lima puluh tahun, entah dua puluh tahun, atau sepuluh tahun lagi, anak bangsa ini tercabut dari akar budayanya. Mereka tidak dapat lagi berpikir, bersenda gurau, bertukarpikiran, menuturkan pengalaman, menyatakan kebahagian/kesediahan, dan menyapa orang tuannya  dengan bahasa ibunya sendiri. Bahasa daerah tersingkirkan dari memori mereka sebagai  anak bangsa,  sementara mereka memiliki sikap dan penghargaan  yang rendah  terhadap bahasa Indonesia. Di perkotaan, anak-anak lebih suka dan lancar menggunakan bahasa asing daripada bahasa ibunya, bahasa daerah, atau bahasa Indonesia. Akhirnya, mereka menjadi manusia yang monolingual dengan kemampuan bahasa Indonesia yang rendah. Anak bangsa ini sebenarnya merupakan penutur multilingual. Namun, tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa mereka telah mengarah pada penutur monolingual.

Fenomena yang ada dihadapan kita saat ini adalah perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada diri anak bangsa sedang terjadi perubahan dalam tatanan kehidupan.  Anak bangsa ini begitu memuja-muja dan mendambakan budaya impor yang sangat populer. Kemajuan teknologi informasi begitu cepat mengubah pola pikir, cara pandang, dan perilaku masyarakat. Perilaku  anak muda cenderung lebih egois, tak acuh, masa bodoh, dan individualis pada saat ini. Hal ini merupakan indikator  terjadinya perubahan sosial. Setiap hari dapat disaksikan diberbagai pelosok nusantara adanya budaya kebut-kebutan di jalan yang dilakukan anak muda. Sikap keras kepala, tidak mau mengalah dijumpai mulai di jalan raya, di rumah tangga, di dusun/desa, kota bahkan sampai ke gedung Senayan.  Sifat saling curiga berkembang dengan pesat di lingkungan masyarakat. Saling percaya, kejujuran, kebersamaan, tenggang rasa, merasakan penderitaan orang lain, dan tolong-menolong seolah-olah redup dalam kehidupan bangsa ini. Ada hal yang menarik, yaitu korupsi, manipulasi, eksploitasi, dan tipu- menipu malah menjadi kebiasaan yang lumrah.

Di satu sisi, perilaku manusia, cara berpikir, nilai-nilai yang dianut, dan budaya yang tumbuh dalam suatu masyarakat  dilambangkan dengan bahasa yang dituturkan. Bahasa  yang halus, santun, pantas, layak, dan enak didengar sudah barang langka di negeri ini. Bahasa yang berkembang dari hari ke hari terlihat bahwa penutur menggunakan kata-kata yang kasar, tidak santun, mencela, mengejek, menyindir, bahkan vulgar.  Hal ini menunjukkan bahwa anak bangsa  ini memiliki perilaku bahasa yang sudah sangat buruk. Keadaan ini menandai   sudah semakin tipis rasa bangga anak bangsa pada budaya, bahasa ibu, bahasa daerah, dan bahasa negara sebagai identitas bangsa. Di sisi lain, penggunaan bahasa asing di media luar ruang di berbagai kota besar sampai  ke kota kecil begitu merajalela.  Bahasa media elektronik, iklan di televisi, dan radio begitu banyak menggunakan bahasa Inggris. 

Penutur yang menggunakan ragam bahasa yang buruk merupakan indikator adanya perubahan sosial ke arah yang semakin buruk. Fenomena ini menunjukkan bahwa bangsa ini sudah menjurus pada tanda-tanda ke arah jurang kehancuran. Sudut pandang politik kebudayaan, perilaku bahasa dan perilaku sosial yang memburuk  merupakan penguatan konsep luluh-lantaknya budaya daerah dan budaya nasional.  Pedoman moral di tengah masyarakat nampaknya semakin kabur. Berbohong, menipu, mencuri, mencela, berujar dengan bahasa/kata-kata yang kasar sudah merupakan hal yang lumrah dan dirasakan bukan kesalahan lagi.  

Modal sosial yang dimiliki bangsa ini semakin menipis dan mengarah pada kekacauan, misalnya masyarakat berperilaku boros alias konsumtif, mencari jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah, kurangnya kemauan bekerja keras, individualis, dan tidak ada rasa kebersamaan. Padahal negara yang dapat unggul dalam persaingan global adalah negara  yang penduduknya memilki  modal sosial yang tinggi, seperti Jepang, Korea, Cina, dan Thailand. Keempat negara ini memiliki sumber daya manusia yang baik karena masyarakatnya hidup hemat, pekerja keras, memiliki loyalitas dan kebersamaan yang tinggi. Di sisi lain, faktor modal sosial yang dimiliki warga suatu negara merupakan penentu keberhasilan memenangkan persaiangan global.

Keadaan yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya ini menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya.  Budaya tidak akan dapat di ekspresikan tanpa bantuan media bahasa. Kehancuran suatu budaya, baik daerah maupun budaya bangsa, berawal dari memburuk, menipis, dan  memunahnya bahasa daerah. Negara yang kuat dalam menghadapi tantangan globalisasi adalah negara yang berpijak pada  budaya dalam pembangunan bangsanya.

Berdasarkan pemikiran di atas, makalah ini membahas campur tangan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang juga merupakan  lembaga pengusung tujuan pendidikan di negeri ini dalam mempertahankan, melindungi, dan merevitalisasi bahasa daerah, sastra lisan, dan tradisi lisan yang merupakan bagian dari kebudayaan daerah. BPPBN (Badan Pengembangan dan Perlindungan Bahasa Nasional) sangat berkepentingan  dalam pelestarian bahasa-bahasa daerah baik dari sisi kebahasaan maupun sastranya (sastra lisan dan tradisi lisan) sebagian budaya.


2.Pembahasan
Salah satu penyebab keadaan ironis yang dipaparkan pada bagian latar belakang adalah adalah kebijakan pendidikan yang tidak mau berpihak pada pendidikan yang berbasis budaya. Selama ini pendidikan di Indonesia begitu berorientasi pada pendidikan kapitalisme dan imperialisme barat. Pembangunan moral tidak diseimbangkan dengan pembangunan materi. Hal yang berkaitan dengan budaya, seperti tradisi, tradisi lisan, sastra lisan, budaya lokal  sebagai entitas yang unggul untuk menciptakan manusia yang dapat bersaing secara sehat dalam hidup dan kehidupannya tidak banyak digubris para pelaku pendidikan untuk dijadikan sebagai dasar pendidikan . Artinya, pendidikan di Indonesia tidak berhasil merakayasa manusia Indonesia yang cerdas  berbasis budaya.  Sementara itu, manusia yang hemat, mau bekerja keras, loyal, dan penuh daya juanglah yang  akan dapat memenangkan persaingan global secara baik.

            Pendidikan merupakan alat pembangunan bangsa, watak masyarakat, perilaku, peradaban, dan budaya akan tumbuh dan berkembang dari dalam kelas. Dieter Mark (1996) mengemukakan bahwa pembangunan suatu bangsa yang mengabaikan kebudayaan  akan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa itu sendiri. Pembangunan yang tidak berakar pada dasar budayanya akan mengakibatkan hilangnya kepribadian dan jati diri bangsa yang bersangkutan. Bangsa yang demikian pada gilirannya akan lemah dalam menghadapi persaingan global bahkan pada akhirnya bisa runtuh, baik yang disebabkan kuatnya tekanan pengaruh dari luar  maupun oleh pengeroposan dalam tubuhnya sendiri.

Sebenarnya  bangsa Indonesia  kaya dengan khasanah budaya yang dapat dijadikan sebagai landasan dan arah pendidikan kita.  Nenek moyang kita terkenal dengan budaya melaut, budaya bertani,  religi yang kuat. tetapi adakah budaya ini dijadikan dasar pendidikan di sekolah.  Hal ini mengakibatkan budaya kelautan, budaya pertanian, dan budaya taat beragama semakin hilang.

 Negara kita berdiri kokoh dalam keanekaragaman bahasa dan budaya. Tidak terlalu berlebihan kalau kita mengatakan bangsa Indonesia  merupakan negeri yang kaya dengan budaya, seperti bahasa, tradisi, sastra lisan, tradisi lisan, tarian, dendang, pepatah petitih, seni kerawitan,  sandiwira, masakan yang sekarang terkenal dengan kuliner, arsitek bangunan, bahkan alat transportasi laut, danau, sungai, dan darat.  Setiap etnis memiliki bahasa yang unik dan menarik yang dapat memutar roda kehidupan penuturnya.  Di nusantara ini diberbagai daerah hidup budaya lokal yang menggambarkan pola pikir, filsafat hidup, dan perilaku keseharian pemiliknya. Sekitar seribu etnis yang berbeda  mendiami tanah ibu pertiwi ini dengan keragaman  bahasa yang berjumlah sekitar 712 bahasa daerah . Budaya yang tersebar dalam hampir seribu etnis diwujudkan dalam bermacam bentuk, seperti tarian, tradisi lisan, sastra lisan,  arsitek rumah, makanan, nyanyian, pepatah, dan cerita rakyat.

            Sastra lisan dan tradisi lisan merupakan potret kehidupan masyarakat di masa lampau. Keduanya juga merupakan luapan emosi kejiawaan pemiliknya. Dalam kehidupan sekelompok orang terukir cara pandang, pola pikir, tata kelola alam, masyarakat, dan lingkungannya, serta adanya aturan keseimbangan antara manusia dan alam, pemikiran yang jernih melihat kehidupan sebagai fenomena kebersaamaan, toleran, rasa cinta, saling membutuhkan bukan sebagai perlombaan capaian materi terkubur dalam tradisi lisan dan sastra lisan. Beragam pembelajaran moral dan etika ada di dalam kedua kekayaan produk budaya masa silam ini. Masalahnya, kita tidak banyak melirik khasanah harta karun yang begitu besar ini untuk dijadikan dasar berbangsa dan bernegera melalui pendidikan.

Perbedaan wujud budaya dan  bahasa lokal ini bukan menjadi halangan untuk menyatakan kita dalam satu bangsa dan satu bahasa. Dalam satu wilayah yang tidak begitu luas dari segi ukurannya bisa saja ditemukan sejumlah bahasa dengan keaneragaman budaya, tradisi, dan tradisi lisan. Semua etnis menonjolkan identitasnya dengan bahasa dan budaya yang berbeda dengan etnis lain. Semua ini menjadi modal yang kuat untuk membentuk manusia Indonesia yang memiliki karakter yang unggul, hemat, punya daya juang, bekerja keras, setia pada apa saja, disiplin, dan tidak konsumtif.

            Negeri Melayu Jambi sama dengan etnis lain banyak menyimpan tradisi lisan, sastra lisan, dan tradisi yang menggambarkan pola pikir, pandangan hidup, cara pandang, perilaku, nilai, dan moral anak-anak melayu. Kita masih sering menemukan seloko adat dalam pernikahan yang digunakan sebagai tradisi lisan dalam membesarkan makna pernikahan. Krinok masih sering didendangkan oleh pelantunnya kalau ada musim beladang ke humo, mendirikan rumah, dalam pernikahan, atau dalam acara ritual di tengah masyarakat Melayu. Masih banyak pula tunjuk ajar dari pepatah petitih atau pantun yang dilantunkan di tengah rumah saat menjelang tidur oleh para nenek di kampung.  Semua tradisi lisan ini menunjukkan bahwa anak Melayu memiliki identitas, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai moral yang masih dibutuhkan anak muda Melayu pada zaman kemajuan ini bahkan sampai masa yang akan datang.
            Kenyataannya, pada masa kemajuan teknologi ini tradisi, tradisis lisan, dan sastra lisan bersaing secara tidak berimbang. Budaya populer semakin meracuni kehidupan orang-orang desa dengan cara yang sangat cepat dan dramatis. Tayangan televisi sudah menggusur  perhatian anak desa dari budayanya, tradisi sudah dilupakan, sastra lisan sudah dianggap barang antik, dan tradisi lisan tidak lagi menjadi tontonan yang menarik bahkan dianggap sudah kuno. Perilaku yang ramah-tamah berubah menjadi perilaku yang acuh, tidak peduli sama orang lain, tegur sapa menjadi barang yang mahal, bahkan pendidikan rumah tangga pun menjadi hilang. Di rumah-rumah tidak ada lagi makan bersama pada siang hari atau pada malam hari. Anak-anak balita sudah dininabobokkan dengan permainan yang serba elektronik sehingga tidak ada lagi lantunan cerita rakyat menjelang tidur.
            Kesibukan mengurus pekerjaaan, politik, rumah tangga, dan mencari nafkah membuat manusia lupa akan tradisi, budaya, cerita tentang tokoh terkenal, sakti, penolong, ramah, dan suka memberi di kampungnya. Masyarakat Indonesia seolah tercabut dari akar budayanya. Masalah demi masalah, konflik sosial, saling bunuh terjadi di mana-mana. Penurunan nilai kearifan sudah meraja- lela di seluruh nusantara ini. Egoisme yang lebih menonjol menyapa kita di setiap lini kehidupan. Semua ini terjadi karena kita melupakan nilai-nilai budaya yang dianut para pendahulu kita.
            Bahasa daerah yang ada di nusantara banyak yang terancam punah. Ada yang penuturnya tinggal satu orang dan ada pula yang sudah punah. Hal ini menunjukkan bangsa kita tidak menghargai budayanya. Lihat saja, tradisi lisan di jagat nusantara  banyak sekali yang sudah punah, maestronya sudah tidak ada. Masyarakat dan pemerintah seolah setengah hati dalam menjaga warisan budaya nenek moyang.
            Lain halnya dengan negara Jepang yang pernah menjajah Indonesia. Negara ini begitu kuat mempertahankan kemurnian budaya warisan nenek moyangnya bahkan mereka siap mengisolasi diri dari dunia luar selama 219 tahun (635-816). Salah satu alasan pemerintah Jepang menutup diri ini karena mempertahankan warisan budaya mereka. Setakad ini, budaya asing tidak begitu banyak mengubah budaya asli orang Jepang. Mereka sangat bangga dengan bahasa negaranya. Bahasa daerahnya mereka pelihara dengan baik agar dapat abadi sampai akhir zaman. Tradisi mereka tetap hidup di tengah kemajuan negerinya.

3. Kebijakan
            Kebijakan Badan Pengembangan dan Pelindungan Bahasa berkaitan dengan Tradisi Lisan. Kebijakan merupakan campur tangan yang dilaksanakan satu instansi  atau lembaga terhadap suatu fenomena yang ada dalam kehidupan sosial masyakat. Hal ini tentu lebih kental dengan keputusan-keputusan politis yang diambil oleh negara melalui instansi pemerintah yang diberi tanggung jawab tentang suatu hal.

Tradisi lisan merupakan ungkapan emosi suatu  kelompok atau etnis yang mengutamakan bahasa sebagai alat ekspresi yang dilengketkan dengan gerak berupa tarian, upacara, kegiatan ekonomi (bertani, berlayar, menangkap ikan, berburu, dll). Berkaitan dengan pemanfaatan bahasa sebagai media ekspresi dalam folklor dan tradisi lisan maka pelindungan bahasa terutama pemertahanan bahasa sangatlah tepat BPPN memiliki kebijakan khusus tentang tradisi lisan yang termasuk di dalamnya cerita rakyat, ungkapan tadisi, pepatah petitih, sejarah lokal, seloka, pantun, syair, dan gurindam. 

Dilihat dari pesan pendidikan yang ada di dalam tradisi lisan yang berupa nilai-nilai yang memperkuat rasa kebersamaan, rasa memiliki kelompok etnis yang akhirnya menyatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia akan memperkuat perlunya tradisi lisan menjadi perhatian BPPN dan berbagai instansi pemerintah. Tradisi lisan muncul dan berkembang di tengah masyarakat nusantara ini tidak hanya pada masa lampau, tetapi masa kini, dan bahkan di masa mendatang maka BPPN melakukan hal-hal berikut.

1.      Pendokumentaisan tradisi lisan
2.      Revitasilasi tradisi lisan
3.      Pengembangan mutu manusia Indonesia melalui pendidikan karakter
 Kebijakan tentu tidak dapat dibuat begitu saja tanpa melihat peta apa yang sudah dilakukan selama ini oleh pemerintah dan ilmiah atau kalangan akademisi. Yang perlu diperhatikan sebelum membuat kebijakan di antaranya perlu dilihat kajian yang menyangkut tradisi lisan.

3.1. Pemetaan
            Pemetaan yang dimaksud dalam kebijakan ini adalah usaha untuk menggambarkan  jumlah varian dialek bahasa Melayu di Jambi termasuk di dalamnya bahasa Orang Rimba, dan Bahasa Kerinci. Hal yang dipetakan selain jumlah dialek bahasa Melayu di daerah ini termasuk jumlah penutur, jumlah satra lisan (cerita rakyat, ungkapan-ungkapan, pepatah-petitih,  jumlah tradisi lisan, kepunahan bahasa, dan tradisi yang masih bagian khasanah budaya. Penduduk Melayu yang tersebar di berbagai desa tentu memiliki sastra lisan dan tradisi lisan yang berbeda dan tidak tertutup kemungkinan ada yang sama. Semua ini akan dilihat dengan mengadakan pemetaan bahasa, sastra, dan tradisi lisan.

 Bahasa Melayu di Provinsi Jambi yang merupakan harta karun budaya bangsa, beraneka ragam keindahan tradisi,  pengetahuan, dan teknologi memang belum terancam punah. Namun, sastra lisan dan tradisi lisan boleh dikatakan  belum difungsikan secara baik di tengah masyarakat sebagai hiburan rakyat pengiring acara ritual acara adat dan kegiatan sosial yang lain. Artinya, eksistensi tradisi lisan dan sastra lisan dalam komunitas masyarakat adat Melayu sudah mulai redup, tidak bersinar lagi, seperti masa-masa 70-an ke bawah. Bahasa Melayu memang masih relatif terjaga kelestariannya di tengah masyarakat penuturnya, tetapi kalau dilihat bahasa Melayu yang dipakai orang Rimba sudah mulai terancam punah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya kehidupan meraka yang terdesak oleh pengeksploitasian hutan untuk lahan pertanian, pengambilan kayu balok, dan pertambangan memaksa meraka harus bergabung dengan masyarakat yang tinggal di dusun-dusun sekitar hutan.

 Di permukiman baru anak-anak Rimba sudah mulai bersekolah dan dalam kegiatan pendidikan bahasa Rimba tidak dituturkan. Setelah tamat sekolah, mereka dapat pekerjaan dan mencari kehidupan. Mereka tidak lagi hidup di rimba, tetapi di tengah masyarakat yang maju.  Hal ini membuat mereka juga tidak lagi menuturkan bahasa Rimba. Sebagian mereka juga melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang tidak berasal dari orang Rimba. Kawin silang ini juga membuat bahasa Rimba tidak digunakan lagi di rumah tangga meraka. Selain itu, orang Rimba sudah merasa tidak nyaman alias sudah merasa rendah diri disebut orang Rimba sehingga mereka menghilangkan identitasnya  sebagai orang Rimba termkasuk  bahasa, tradisi, tradisi lisan, sastra lisan, dan perilaku hidup yang meraka lakukan selama ini. Dalam keadaan seperti ini  bahasa Rimba yang relatif sedikit penuturnya menghadapi ancaman yang cukup serius dalam sudut pandang kepunahan bahasa. Kehilangan bahasa  dalam satu kelompok manusia berarti kehilangan identitas budaya yang ada di dalamnya.

Pokok pikiran yang dikemukakan di atas menjadi alasan yang kuat untuk mengemukakan faktor yang dapat mengancam keberlangsungan bahasa lokal beserta tradisi lisannya.
1.      Ragam bahasa dan dialek yang ada dalam bahasa Melayu yang dituturkan oleh berbagai kelompok di daerah-daerah yang berbeda belum pernah di- petakan secara menyeluruh. Hal ini di sinyalir akibat luasnya wilayah permukiman penduduk Melayu di Sumatera bagian selatan (Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jambi, Kepulauan Riau, dan Sumatera utara).

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang dominan dengan dialek dan logat yang berbeda dari satu komunitas ke komunitas lainnya, bahasa Melayu Seberang Jambi, Melayu Nipahpanjang, Melayu Sabak, Melayu Kualatungkal yang berada dipesisir sungai berbeda logat dan dialeknya dengan Melayu Bangko, Melayu Sarolangun, dan Melayu Muarobungo. Perbedaan dialek dan logat ini juga memunculkan sastra lisan dan  tradisi lisan yang berbeda di antara wilayah-wilayah yang didiami etnis Melayu dengan dialek dan logat yang khas di daerah itu. Perbedaan lain ditemukan pada bahasa Melayu yang digunakan di daerah Kerinci. Orang Melayu di pesisir dan Melayu di pedalaman,  seperti orang Batin umumnya dapat menuturkan bahasa Melayu yang dapat dimengerti oleh kelompok Melayu lain. Namun, berbeda halnya dengan masyarakat kelompok melayu di daerah Kerinci. Bahasa mereka sulit dimengerti oleh orang Melayu di luar wilayah ini.

Keragaman dialek dan bahasa Melayu diberbagai daerah Jambi sepertinya mulai terancam bergeser pada dialek bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional kita. Hal ini disebabkan gencarnya pemasyarakatan bahasa Indonesia di media cetak, media elektronik, dan penggunaan bahasa Indonesia di ranah pendidikan.
 Pertemuan adat yang  bersifat ritual yang diadakan di desa bahasa Indonesia yang resmi sudah banyak digunakan. Hal ini ditandai dengan adanya alih kode, campur kode, dan penggantiannya. Oleh karena itu, kerumitan yang dihadapi oleh pemangku kepentingan dalam melestarikan bahasa Melayu mulai sangat tampak akhir-akhir ini
3.2 Pemanfaatan Tradisi Lisan Sebagai Muatan Pendidikan Karakter
Kebijakan pendidikan yang tidak mendukung pelestarian bahasa Rimba. Pelestarianan bahasa daerah yang ada di daerah Provinsi Jambi sepertinya belum ada kebijakan khusus yang dibuat oleh pemerintah. Bahasa daerah belum diajarkan atau tidak dijadikan sebagai alat interaksi dalam dunia pendidikan walaupun itu tingkat sekolah dasar, guru dan murid, bahan cetak, serta buku ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga frekuensi ruang  bahasa daerah semakin sempit. Hal ini membuat lulusan sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi enggan , malu, bahkan merasa tidak nyaman menggunakan bahasa daerah. Fenomena ini juga mengakibatkan anak Melayu dengan usia muda tidak lagi mengenal tradisi dan tradisi lisanya karena mereka sudah kehilangan bahasa ibu atau aslinya akibat kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada bahasa lokal.
Lebih jauh kehilangan bahasa lokal merupakan jalan yang mulus untuk menghilangkan budaya lokal termasuk di dalamnya satra lisan, tradisi lisan seperti tradisi berpantun, tradisi seloko tradisi krinok senandung, metik simul, bekabah, dan tari Melalak, tidak lagi dikenal oleh anak muda Melayu Jambi.
                        Muatan lokal yang ada di sekolah-sekolah bukanlah bahasa derah yang memunculkan pendidikan kearifan lokal berupa nilai-nilai, moral, aturan kemasyarakatan, hukum-hukum sosial yang bersumber dari bahasa lokal. Tradisi lisan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan pendidikan yang tidak disentuh oleh bahan ajar di sekolah. Sekolah-sekolah di kabupaten dan di Kota Jambi  memberikan huruf aksara Melayu Jawi sebagai muatan lokal.

4.Strategi Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah Jambi
            Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam memberi roh pada budaya termasuk sastra lisan dan tradisi lisan, di antaranya menerapkan pendekatan integratif dan partispasif.
            Pendekatan integratif berusaha menangkap isu yang tidak hanya terbatas pada isu budaya yang ada, tetapi juga isu-isu lain yang berpengaruh terhadap eksistensi sebuah budaya, seperti kelestarian lingkungan hidup, akses terhadap sumber daya alam, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.
            Pendekatan partisipatif diterapkan untuk menjamin keterlibatan  masyarakat pemilik budaya dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan budaya meraka. Dengan demikian, proses transformasi dan aktualisasi dijalankan secara sadar dan sukarela, bukan atas dasar ketidaktahuan atau paksaan.
            Selama kurun waktu lima tahun ke depan BPPN/ Kantor Bahasa Propinsi Jambi akan mendokumentasikan ribuan naskah tradisi lisan serta menerbitkannya dalam berbagai bentuk. Tabel 1 memberikan gambaran tentang rencana induk produk yang akan  dihasilkan oleh BPPN/KBPJ dalam bentuk fisik.

Jumat, 05 Oktober 2012

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Pengelolaan Warisan Budaya

Oleh: Dr. Pudentia MPSS
1.    Pengantar

Peran masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana negara dan atau pemerintah menempatkan  masyarakat sebagai mitra atau bagaimana masyarakat diperlakukan sebagai mitra kerja pemerintah. Pengelolaan kemitraan berbasis masyarakat berarti melibatkan potensi masyarakat dan memberi tempat yang signifikan pada aktivitas mereka.  Sejalan dengan makin menguatnya peran  negara beberapa waktu  yang lampau, potensi masyarakat pernah dianggap sebagai ancaman. Akibatnya,  secara umum terjadi kevakuman atau ketidakpedulian masyarakat luas, khususnya akan hal-hal yang berkaitan dengan budaya.  Situasi dan paradigma pembangunan yang pernah berjalan yang menekankan pada pentingnya pembangunan ekonomi mengatasi yang lain amat berperan dalam membentuk ketidakpedulian dan sekaligus ketidaktahuan masyarakat akan berbagai hal yang bersangkut paut dengan budaya dan peran utamanya sebagai salah satu sumber pembentukan identitas kemanusiaan dan salah satu media efektif dalam penyampaian nilai-nilai.

                 Sejak  lama, bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan,secara khusus (maksudnya belum menjadi kesadaran nasional kecuali dalam bidang pendidikan)  masyarakat  telah melakukan berbagai hal untuk memajukan atau mengembangkan kebudayaan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memberikan dukungan nyata dalam pengelolaan sumber-sumber budaya. Dalam bidang pendidikan, misalnya, sekolah swasta telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan sekolah vokasional atau kejuruan yang diselenggarakan pihak swasta jauh lebih banyak daripada yang dikelola negara. Bali, dengan kesuksesannya mempromosikan pantai Kuta dan budayanya adalah contoh lain yang memperlihatkan peran swasta (asing) jauh lebih kuat daripada peran pemerintah. Banyak contoh lain dapat disebutkan untuk memperlihatkan peran nyata berbagai lembaga swasta di bidang budaya  dengan berbagai kekhususan dan kekhasannya dalam melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan, pengelolaan, penelitian,pelatihan, pendampingan, dan sebagainya.  Lembaga swasta ini  melakukan aktivitasnya justru lebih banyak dengan bantuan pihak swasta atau pemerintah asing dan atau dengan bantuan anggotalembaga itu sendiri. 

Pengelolaan kemitraan berbasis masyarakat berarti melibatkan potensi masyarakat dan memberi tempat yang signifikan pada aktivitas mereka.  Sejalan dengan makin menguatnya peran  negara beberapa waktu  yang lampau, potensi masyarakat pernah dianggap sebagai ancaman. Akibatnya secara umum terjadi kevakuman atau ketidakpedulian masyarakat luas akan hal-hal yang berkaitan dengan budaya.  Situasi dan paradigma pembangunan yang pernah berjalan yang menekankan pada pentingnya pembangunan ekonomi mengatasi yang lain amat berperan dalam membentuk ketidakpedulian dan sekaligus ketidaktahuan masyarakat akan berbagai hal yang bersangkut paut dengan budaya dan peran utamanya sebagai salah satu sumber pembentukan identitas kemanusiaan dan salah satu media efektif dalam penyampaian nilai-nilai.

     Sejak  lama , bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan,secara khusus (maksudnya belum menjadi kesadaran nasional kecuali dalam bidang pendidikan)  masyarakat  telah melakukan berbagai hal untuk memajukan atau mengembangkan kebudayaan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memberikan dukungan nyata dalam pengelolaan sumber-sumber budaya. Dalam bidang pendidikan, misalnya, sekolah swasta telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan sekolah vokasional atau kejuruan yang diselenggarakan pihak swasta jauh lebih banyak daripada yang dikelola negara. Bali, dengan kesuksesannya mempromosikan pantai Kuta dan budayanya adalah contoh lain yang memperlihatkan peran swasta (asing) jauh lebih kuat daripada peran pemerintah. Banyak contoh lain dapat disebutkan untuk memperlihatkan peran nyata berbagai lembaga swasta di bidang budaya  dengan berbagai kekhususan dan kekhasannya dalam melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan, pengelolaan, penelitian,pelatihan, pendampingan, dan sebagainya.  Lembaga swasta ini  melakukan aktivitasnya justru lebih banyak dengan bantuan pihak swasta atau pemerintah asing dan atau dengan bantuan anggotalembaga itu sendiri. 

                 Kemitraan berbasis masyarakat didasarkan tidak hanya pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut mengembangkan kebudayaan nasional, dan tentu juga kebudayaan daerah, tetapi juga pada kenyataan fisik bahwa sumber-sumber budaya   memang berasal dan berada dalam pengelolaan masyarakat/komunitas pemilik atau pendukung budaya yang bersangkutan. Masyarakat tempatan pemilik budaya juga yang paling mengetahui bagaimana pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana mereka masih membutuhkannya. Masyarakat juga memiliki kekhasan masing-masing dalam memberi tanggapan terhadap lingkungan alam dan kehidupannya yang berbeda-beda tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan sekaligus juga mereka memberi tanggapan terhadap setiap perubahan yang datang. Di lain pihak, perubahan itu sendiri dan konteks sosial yang terbentuk dari tanggapan masyarakat terhadap alam dan kehidupannya mempengaruhi pembentukan kebudayaan Indoneia.    
                 Kenyataan memperlihatkan bahwa pemerintah, meskipun diamanatkan oleh UUD 45, pasal 32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat berbagai kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan upaya memajukan kebudayaan nasional,  tidak mungkin dan tidak mampu  bekerja sendiri. Dengan segala konsekuensinya, pemerintah harus berupaya membuka akses kemitraan dengan pihak masyarakat. Dalam membangun kemitraan ini perlu dikembangkan sikap saling terbuka dan relasi yang terbentuk  adalah pemahaman untuk bekerja sama dalam posisi saling memberi. Di samping itu, peran pemerintah diperlukan dalam menciptakan berbagai kebijakan untuk meningkatkan  kesadaran masyarakat luas, khususnya pihak pelaku industri/pengusaha. Secara bertahap hendaknya peran pemerintah dan pengusaha/pemilik industri dapat ditingkatkan dan menagatasi peran lembaga asing dalam mendukung peran masyarakat memajukan kebudayaan.

1.        Pengelolaan Warisan Budaya (Tradisi)

                 Seperti halnya yang terjadi di berbagai negara lain, di Indonesia pun warisan budaya (ICH kuhususnya)  makin lama makin menghilang dan beberapa di antaranya mendekati kepunahan. Beberapa ragam tradisi (ICH) juga yang mengalami perubahan, baik yang terjadi secara perlahan seperti pada upacara ritual misalnya, maupun yang terjadi secara cepat karena tuntutan situasi dan migrasi tradisi tersebut ke luar dari daerah asalnya. Proses perubahan dan bahkan punahnya tradisi  (seringkali juga bersamaan dengan tiadanya pendukung tradisi) berarti juga hilangnya seperangkat sistem pengetahuan tradisional,  kearifan lokal, dan nilai-nilai budaya sebagai sumber berharga atau ensiklopedi dari suatu masyarakat. Dengan demikian berarti pula identitas lokal yang dalam arti luas berarti juga identitas dan karakter bangsa ikut menghilang secara berangsur-angsur. Dengan fungsi dan perannya yang begitu penting, keberadaan tradisi harus dikelola dengan amat baik dan bertanggung jawab dengan memperhatikan sebab-sebab terjadinya perubahan dan kepunahan tersebut. Pengaruh negatif dari globalisasi, kehebatan teknologi informasi dan industrialisasi sangat berperan. Selain itu, belum adanya program pengelolaan yang melibatkan juga penghargaan yang tetap dan berkelanjutan pada para penutur dan pemilik tradisi dan proses pewarisan yang belum berjalan sesuai dengan kondisi masa kini juga merupakan penyebab makin menghilangnya warisan budaya tersebut , baik sebagai living tradition maupun sebagai memory tradition.

                 Menghilangnya tradisi dari ingatan memori pemiliknya atau punahnya  tradisi bersamaan dengan “punah”-nya penutur atau pemilik tradisi berarti terjadinya sebuah bencana budaya. Bencana jenis ini memang tak tampak secara langsung karena bukan seperti bencana alam atau bencana pertikaian antarmanusia yang langsung dapat dikenali dan dirasakan akibatnya pada saat terjadi. Bencana budaya sangat potensial mengakibatkan bencana lainnya yang berakibat fatal pada hilangnya identitas  dan karakter bangsa, pemicu masalah sosial, bencana alam, dan pertikaian antarmanusia, serta hancurnya peradaban dalam arti luas. Dalam artian ini ketahanan budaya sangat signifikan dengan ketahanan bangsa dalam berbagai bidang.

                 Upaya untuk menjaga warisan budaya seperti diungkapkan di atas muncul di berbagai negara dan dilakukan oleh berbagai lembaga yang kompeten seperti UNESCO dengan berbagai program seperti “World Heritage”, “Memory of The World”, dan membuat konvensi perlindungan budaya (Convention of Safeguarding Intangiable Cultural Heritage, 2004) yang diratifikasi berbagai negara anggotanya, termasuk Indonesia dengan SK Presiden pada tahun 2008 yang lalu.

                Pertanyaan menarik yang dapat diajukan adalah apakah yang memotivasi gerakan tersebut dan berkembangnya pemahaman peran penting warisan budaya dalam identitas kultural tamadun suatu bangsa. Tidaklah berlebihan bila dikatakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan kesadaran budaya ini bertolak dari pandangan para ahli yang makin memahami peran budaya dalam mengubah banyak hal, termasuk membangun perekonomian suatu bangsa (lih.Huntington, 2007).  Mereka bertolak dari kenyataan bahwa pembangunan ekonomi selama ini terbukti tidak dapat memperbaiki kualitas hidup manusia secara ideal dan bahkan membuat masyarakat jadi amat tergantung pada birokrasi sentralistik yang memiliki berbagai fasilitas dan akses. Selain itu, perubahan dari budaya agraris ke budaya industri dan budaya pasca-industri telah menyebabkan perubahan dalam tata kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Secara sistematis dan terstruktur, pendekatan ekonometrik yang sangat sentralistik (khususnya di Indonesia) telah meniadakan potensi lokal untuk memperlihatkan kekuatan dan sekaligus keunggulan komparatifnya.  Dengan menaruh harapan bahwa nilai-nilai  budaya yang dikembangkan untuk membangun ekonomi kerakyatan dapat menciptakan kemakmuran yang adil dan merata, khususnya dalam meningkatkan daya saing tempatan, berbagai program penanganan warisan budaya kemudian ditingkatkan.

             Untuk melaksanakan hal tersebut, peran masyarakat menjadi penting. Pemerintah meskipun diamanatkan oleh UUD45, pasal 32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat berbagai kebijakan dan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan  upaya memajukan kebudayaaan nasional, tidak mungkin dan tidak mampu bekerja sendiri. Pemerintah  dalam hal ini harus membangun sistem kemitraan berbasis masyarakat yang tidak

hanya terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut menjaga warisan budayanya, tetapi juga dimunculkan karena kesadaran bahwa sumber-sumber warisan budaya berada dalam pengelolaan masyarakatnya. Masyarakat tempatan pemilik warisan budaya yang bersangkutan juga yang paling mengetahui bagaimana pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana mereka masih memerlukannya.

2.  Permasalahan

                 Pokok-pokok pemikiran di atas, menjadi titik tolak untuk melihat berbagai fakta, proyeksi maupun strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan potensi  intangiable cultural heritage di Indonesia. Perlu ada upaya pengembangan potensi, penyusunan  langkah-langkah perlindungan, pengembangan  dan pemanfaatan  warisan budaya ICH,  dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk kesejahteraan masyarakat.

                 Perlu sekali untuk membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi sebagai sebuah kekuatan yang dengan itu sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemonidan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi  merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas.

                 Paradigma berikutnya muncul juga dari kesadaran akan pentingnya tradisi sebagai sumber ilmu pengetahuan yang memperlihatkan keunikan-keunikan lokal yang dihadapi dewasa ini. Para pewaris tradisi dan komunitasnya semakin berkurang dan pada umumnya sangat terbatas aksesnya untuk mendapatkan bantuan menjaga tradisinya. Ketika muncul tawaran yang amat membantu mereka menyelesaikan permasalahan kongkrit sehari-hari yang dihadapinya, pewarisan tradisi berubah atau bergeser  menjadi komoditas industri. Dalam kaitan ini dapat diamati munculnya fenomena di beberapa daerah, yaitu migrasi warisan budaya. Contoh kongkrit adalah penawaran naskah tertua Melayu Jambi dari abad ke 14 Tanjung Tanah  dari pihak Malaysia dengan harga lebih dari I M. Bila tawaran ini diterima, maka berpindahlah warisan budaya naskah tersebut ke luar dari tanah asalnya. Begitulah yang terjadi dengan ribuan naskah kuna yang tersimpan dengan amat baik di Perpustakaan KITLV Leiden. Dilematis  permasalahannya: bila saja pihak Belanda  tidak menyimpannya belum tentu kita masih dapat memiliki khasanah berharga tersebut walaupun tempat penyimpanannya bukan lagi di Indonesia.

                 Dengan segala permasalahan yang dipaparkan di atas, secara ringkas dapat dikatakan sudah amat mendesak dilakukan tiga hal berikut: Perlindungan, Pemeliharaan, dan Revitalisasi Warisan Budaya. Pengembangan dan penyediaan ahli di perguruan tinggi ataupun pelaku aktif pengelola warisan budaya di tengah masyarakat perlu dilakukan serentak dengan program ini mengingat akibat dan dampak yang lebih membahayakan dari berbagai  hal:  kesadarann identitas, marwah bangsa, sumber pembentukan karakter dan pengembangan ekonomi kreatif dalam arti luas. Motivasi positif untuk menjaga tradisi sudah tumbuh baik, tetapi dukungan berbagai pihak terkait secara terprogram dan  berkesinambungan masih dirasakan kurang.   

                 Sesuai dengan kondisi yang dipaparkan di atas, tradisi berada dalam 3 kondisi, yaitu yang terancam punah, yang berubah atau dalam bentuk transformasinya, dan yang dapat dikembangkan untuk berbagai kepentingan positif (pendidikan, industri kreatif, pariwisata, dan sumber berbagai pengetahuan). Pengelolaan tradisi dilakukan dengan 3 tahapan yang satu sama lain dapat saling melengkapi atau berdiri sendiri, tergantung pada kondisi  bersangkutan. Tahapan awal, yaitu Perlindungan yang akan mencakupi kegiatan inventarisasi, klasifikasi, pemetaan,  dokumentasi, dan pendaftaran/registrasi secara lokal, nasional, regional, dan internasional. Tahap kedua merupakan kegiatan Pemeliharaan atau Perawatan yang meliputi kegiatan dokumentasi,pendeskripsian,  pementasan, dan pengkajian. Tahap terakhir, yaitu kegiatan Revitalisasi yang hanya dapat dilakukan dengan persyaratan khusus, yaitu sepanjang masyarakat pemilik masih menginginkannya, maka berarti juga masih berfungsi bagi mereka. Dapat dikatakan tradisi tersebut mempunyai daya hidup yang lebih panjang dan lebih luas wilayah publiknya dan dimungkinkan tidak saja menjadi warisan budaya komunitas lokalnya, tetapi menjadi warisan budaya bangsa dan antarbangsa.
          
(Tulisan ini diramu dari tulisan terdahulu yang menjadi pengantar salah satu bagian dalam Draft Naskah Akademik RUU Kebudayaan tahun 2008 dan materi usulan pengelolaan warisan budaya antarbangsa)

Download



    Kategori

    Tentang ATL

    Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi merupakan wadah sekumpulan orang-orang yang prihatin terhadap tradisi yang semakin lama semakin berkurang para penuturnya. Sekarang kami bermarkas di Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Silakan kontak kami di email atl_jambi@yahoo.com

    Pengelola

    Pemerhati