Kamis, 05 Februari 2009

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Kematian dan Absurditas


Kematian dan Absurditas
Oleh: Ricky Manik, S.S.*

Di Wilmington, pinggiran kawasan Los Angeles California, satu keluarga tewas. Tepatnya tanggal 3 Januari 2009, sebuah letusan di kepala menjadi akhir kehidupan keluarga itu. Di rumah itu, polisi menemukan tujuh sosok mayat yang masih hangat, darah yang masih mengalir dan bau bubuk mesiu peluru yang sengit. lima anaknya turut menjadi korban ketaksanggupan, ketakmampuan, ketakberdayaan orang tua menghadapi hidup yang dianggap sulit dan sukar ini. Di ruangan itu 2 bocah kembar berumur 2 tahun, 2 bocah kembar berumur 5 tahun, 1 berumur 8 tahun, dan kedua orang tua mereka. Pria yang teridentifikasi bernama Irvine Lupo itu diduga lebih dulu menembak istri lalu secara bergiliran kelima anaknya. Terakhir, Lupo melesakkan peluru ke kepalanya. Surat kabar menduga kematian mereka karena ketaksanggupan menahan beban ekonomi yang begitu berat.

Sebelum pembunuhan dan bunuh diri itu dilakukan, Lupo sempat menelpon dan mengirimkan faks ke sebuah stasiun televisi lokal. Dalam faksnya itu Lupo mengaku bahwa ia dan istrinya baru saja di pecat dari pekerjaan teknisi kesehatan. Disebutkan juga, perempuan itu menyarankan membunuh anak-anak mereka lalu bunuh diri.
“Mengapa harus meninggalkan anak-anak dengan orang asing? Kami menganggur dan anak-anak di bawah delapan tahun tidak punya tempat tinggal. Jadi inilah kami. Oh Tuhanku, tidak adakah harapan bagi anak janda?” demikian tulis Lupo dalam faksimile itu.
Dalam jumpa pers, Wali Kota Los Angeles, Antonio Villaraigosa, mengaku sulit memahami mengapa orang berbuat hal sekeji itu. "Tak satu pun orang yang saya kenal bisa memahami apa yang mendorong orang mengambil langkah yang demikian mematikan," katanya.
Sesuatu Tentang Absurditas
Sekilas, mungkin kita belum mengetahui dorongan apa yang melatarbelakangi orang melakukan bunuh diri. Ada banyak penyebab bunuh diri, dan pada umumnya, penyebab yang paling kentara bukanlah penyebab yang paling menentukan. Apakah mungkin pada saat kejadian itu sebuah perusahaan atau instansi yang melakukan pemecatan itu adalah satu-satunya penyebab? Jika demikian perusahaan atau instansi itulah yang bersalah, karena pemecatan itu cukup untuk mengakibatkan memuncaknya semua dendam dan kejemuan yang sampai saat itu masih tertahan.
Namun, dalam arti tertentu membunuh diri adalah pengakuan si pelaku bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau bahwa ia tidak mengerti kehidupan. Membunuh diri adalah semata-mata mengakui bahwa “hidup sudah tidak layak dijalani”. Albert Camus melihat hal ini sebagai sebuah pilihan hidup atau keputusan yang diambil dari proses pemaknaan hidup. Bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah dan ketragisan hidup yang manusia sendiri tidak tahu kapan akan menghadapinya. Lalu, kebiasaan hidup dan derita panjang adalah suatu proses pemaknaan akan hidup itu sendiri. Itulah yang oleh Camus disebut sebagai absurditas. Dunia dan manusia yang absurd. Akan tetapi, menurut Camus, bunuh diri bukan suatu pemecahan. Ia berpendapat bahwa manusia harus menerima keanehan kondisinya. Adalah kehormatan bagi manusia yang berhasrat menanamkan kebesaran hatinya untuk memperoleh kejelasan di tengah ketidakrasionalan yang begitu banyak.
Dalam hidup ini ada proses panjang yang dilalui. Absurditas lebih kepada proses panjang atau pengalaman yang tak henti dilakukan manusia dalam mencari makna hidup. Dari situlah kemudian manusia itu bertumbuh dan dewasa dalam pemikiran. Akan tetapi, apabila makna itu sudah tidak dapat diuraikan, maka manusia itu akan terjerumus dalam kepasrahan. Dalam artian, manusia harus menyadari bahwa manusia hidup di dunia yang absurd. Manusia harus menyadari bahwa persoalan dan permasalahan merupakan kebutuhan dalam hidupnya, karena dengan demikian manusia akan menelaah habis-habisan semua yang dihadapi, tanpa harus mempedulikan tatanan nilai-nilai; demkianlah wujud moral manusia absurd.
Kematian menjadi begitu akrab ketika manusia itu memilih untuk menyerah menghadapi gelombang persoalan dalam hidupnya. Hidup manusia yang absurd. Bunuh diri dianggap jalan keluar yang tepat dari yang absurd. Pertanyaannya, apakah absurditas hidup memaksa manusia untuk menghindarinya melalui harapan atau bunuh diri? apakah yang absurd menuntut kematian? Albert Camus memilah permasalahan itu di atas masalah-masalah yang lain, mencoba keluar dari metode pemikiran dan permainan akal budi yang tak berpamrih. Nuansa-nuansa, kontradiksi-kontradiksi, psikologi yang selalu saja dapat digunakan oleh budi “objektif” untuk memecahkan semua masalah tidak mempunyai tempat dalam pencarian dan gairah ini. Yang dibutuhkan hanyalah pemikiran tak adil, artinya pemikiran logis. Itu tidak mudah. Bersikap logis selalu mudah, namun nyaris tidak mungkin bersikap logis sampai akhir. Mereka yang mati bunuh diri, meniti sampai akhir lereng perasaannya dengan berbuat seperti itu.
Apa yang dilakukan Lupo terhadap keluarga dan dirinya adalah logis menurut pandangannya. Bahwa hidup adalah sebuah kesia-siaan. Pemecatan dirinya dan istrinya adalah suatu akumulasi perasaannya yang sebelumnya telah dilanda badai permasalahan. Masalah ekonomi tentu tidak mutlak dijadikan alasan pengambilan keputusan yang dianggap logis itu. Mungkin, mengakhiri hidup adalah kenikmatan dari hidup yang penuh dengan ketragisan.
Polisi tidak datang terlambat. Tapi maut datang begitu cepat. Maut yang seketika melebihi rofes yang sedemikian rupa rofessional diciptakan manusia. Tanpa ada kompromi. Dan Tuhan pun hanya menjadi saksi dari pilihan itu. Saya pikir, Tuhan akan sedih melihat kejadian itu. Tetapi itu sudah menjadi perjanjian manusia denganNya ketika manusia itu memilih untuk memakan buah dari kebenaran. Maka, manusia itu akan mati. Dan pilihan itu adalah mutlak hak manusia itu sendiri untuk menentukan hidup atau matinya. Dari sanalah absurditas itu kemudian berperan.
Jambi, 3 Februari 2009

*Penulis pemerhati masalah sosial dan bekerja di Kantor Bahasa Prov. Jambi

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Sastra: Ramuan Terapi Mental*


Sastra: Ramuan Terapi Mental*
Oleh: Muhammad Ikhsan, S.S.


Di zaman yang sudah sangat maju ini, banyak sekali yang ditawarkan dunia kepada kita, namun kemudian banyak pula yang direnggutnya. Begitu pula dengan banyaknya yang dibangun, tetapi akhirnya banyak pula yang dihancurkan. Itulah akibat dari modernisasi global saat ini. Dalam melakukan apapun, kita banyak mendapat kemudahan dan bahkan kita dapat merasakan "tidak ada yang tidak bisa dilakukan di dunia ini." Namun di balik semua itu, dengan kemudahan dan kesenangan yang kita rasakan seperti sekarang ini, telah pula melunturkan kebudayaan lama yang sarat kearifan-kearifan yang lebih berharga dari pembangunan diri kita sebagai manusia, seperti semangat komunitas, moralitas spiritualitas, dan lain sebagainya.

Perubahan dan pergeseran nilai yang kian hari- bahkan tiap detik dan menit yang kita rasakan itu, sungguh merupakan beban mental yang penuh bayang-bayang suram, seperti pengaruh globalisasi yang menyebabkan batasan yang semakin samar seperti halnya telah diperankan dengan baik oleh media audio visual, semisal televisi dan komputer dengan CD Room dan internet-nya. Dalam ranah ilmu pengetahuan dan teknologi yang direngkuh manusia menunjukkan keberhasilan menciptakan suatu kenyamanan di satu sisi, dan kegelisahan di sisi lain. Kemudian dengan munculnya industri-industri besar di ranah ekonomi telah menciptakan manusia yang tidak lebih dari produk-produk yang dilahirkan. Manusia telah menjadi robot, mesin, dan budak teknologi itu sendiri, yang membawa manusia ke dalam hitung-hitungan pragmatis, ekonomis, bahkan materialistis.
Beberapa gambaran di atas merupakan sebuah realitas yang kita jumpai dan saksikan kasat mata. Semuanya terutama disebabkan peniadaan dimensi moral yang sebaiknya berjalan seiring kemajuan tersebut. Maka sangat beralasan sekali apabila John W. Gardner maupun Paclav Hevel merasa perlu menekankan hal-hal yang berdimensi moral spiritual sebagai penopang peradaban besar umat manusia, paling tidak seperti yang disebut Hevel sebagai moral values and standards. Persoalannya kemudian adalah bagaimana upaya kita, manusia, agar nilai-nilai moral dan norma-norma yang telah ada dan diharapkan terus berkembang tidak merosot lagi?
Menurut Jamal T. Suryanata, ada tiga segmen masyarakat yang eksistensinya terpaut erat dengan moralitas ini, yaitu kaum agamawan, intelektual, dan para filsuf. Ketiga segmen ini diharapkan berperan besar dalam upaya pelestarian moral values and standards yang menjadi solusi pembebasan manusia dari solusi mentalnya. Namun, ketiga segmen tersebut kurang maksimal dalam memberikan terapi bagi masyarakat dikarenakan sifat dan karakter dari figur yang mereka jalani dihadapkan pada kenyataan hidup yang begitu global dan plural seperti sekarang ini.
Kaum agamawan saat ini memang dirasakan lebih memiliki semangat primordialis, finantis, dogmatis, dan cenderung tendensius. Meski semua agama mengajarkan kebaikan, namun tidak semuanya bisa diterima semua kalangan. Terlebih adanya 'pemetakkan' antaragama. Tentu saja hal itu membatasi ruang gerak dan pengaruh positif dari dari pesan moral yang mereka jalani. Bahkan yang lebih naifnya, banyak sekali kerusuhan dan kekerasan sekarang ini, peledakan tempat-tempat ibadah (tentu kita masih ingat dengan peledakan Katedral dan Mesjid Istiqlal beberapa tahun yang lalu), hingga peristiwa Sampit, Ambon, hingga peledakan Paddy’s Cafe dan Sari Club di Bali, yang kesemuanya mengatasnamakan agama.
Begitu juga halnya dengan kaum intelektual dan ilmuwan, tampaknya juga terbatas ruang geraknya. Kecenderungan rasio dan wacana ilmiah sering tidak memperoleh ruang publik yang lebih luas dari kerangka ilmunya. Masyarakat yang tidak punya tradisi intelektual tidak bisa berharap dari mereka. Di samping itu kemajuan iptek telah menghasilkan pendapatan-pendapatan yang memerdekakan manusia dari pekerjaan badaniah yang lebih berat. Namun sebaliknya, membawa kegelisahan besar dalam kehidupan, yaitu sebagai budak teknologi. Kecelakaan yang paling besar adalah menciptakan alat untuk memusnahkan sesama manusia! Dan jika berharap pada kaum filsuf meski cukup logis dan terasa wajar, kiranya muskil. Kaum filsuf adalah komunitas yang sangat amat terbatas, terlebih saat sekarang. Jiwa petualangan yang tak pernah puas, membuat mereka cenderung terjerumus ke dalam medan dialektika yang tak kunjung usai.
Setelah kita melihat bagaimana peran yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dari ketiga segmen di atas, yang seharusnya penting dalam menjaga mentalitas, mungkin sebuah solusi yang bisa dijadikan sebagai sebuah klinik terapi mental adalah sastra. Namun itu bukan berarti sastra ditempatkan sebagai pengganti peran dari ketiga segmen tersebut. Sastra adalah sebagai unsur penambah dalam menjaga mentalitas sekaligus memberi pesan moral dalam masyarakat.
Menurut Dr. Johnson dalam pengantar buku "Panduan Teori Sastra Masa Kini", karya sastra yang besar itu universal dan mengekspresikan kebenaran-kebenaran umum tentang kehidupan manusia. Jadi, lepas dari kecurigaan primordial fanatisme dogma dan pesannya lebih aspiratif dan komunikatif, tanpa pretensi ambisius. Kemudian Darmanto Jatman memperkuat bahwa sastra mengubah manusia menjadi lebih berbudi, bercita rasa mulia, yang pada akhirnya menjadi manusia sejati sekaligus mempraktikkan makna manusianya. Dari hal tersebut kita diingatkan bahwa kehadiran karya-karya sastra tidak dimaksudkan untuk menggantikan kehadiran guru, kiai, maupun pendeta. Dengan begitu sastra punya cukup kemungkinan membawa pesan-pesan moral.
Sedikit kita singgung situasi panggung politik yang terjadi sekarang. Para 'elit politik' sampai saat ini masih sibuk dengan urusan-urusan yang sebetulnya kita (terutama saya pribadi) sendiri sudah cukup muak mendengarnya. Jargon-jargon politik yang berkembang telah memilukan perasaan kita, mengingat bangsa ini didirikan di atas tetesan darah. Sepertinya republik ini telah menjadi sebuah ruang untuk merefleksikan keinginan politik mereka.. Namun itulah kenyataan hari ini, kebobrokan mental. Dan sah-sah saja selama 'kehendak untuk berkuasa' yang mereka miliki tetap ada, apalagi mereka juga manusia biasa yang tak luput dari khilaf.
Namun dalam situasi ketegangan seperti yang muncul itu, apa salahnya kita sedikit memiringkan pikiran kita, memberikan sedikit ruang bagi pikiran kita untuk sastra. Ketika telinga dan pikiran kita sedikit tersita dengan politik-politikan itu, mungkin ada sedikit waktu bagi kita untuk menemui sastra, sebagai sebuah klinik terapi mental. Mendiang presiden AS, John F. Kennedy pernah berucap, "Jika politik bengkok, puisi akan meluruskannya." Dan bisa saja para elit politik tersebut berkenan untuk bersama-sama membaca puisi, membaca atau menulis cerpen, atau bahkan bermain drama dengan mementaskan sebuah episode sebagai bagian dari episode bangsa ini. Jadi pikiran kita tidak selalu dihantui pikiran-pikiran berbau politik praktis. Dengan sastra, yang cenderung berbicara secara individual, dari hati ke hati, dapat menjadi jembatan dialog untuk saling memahami pikiran, bahkan sedikit demi sedikit dapat memperbaiki mental-mental yang sepertinya sudah terkena virus yang paling berbahaya.
Walaupun demikian, itu semua bukanlah tanpa benturan, tidak begitu saja dengan mudah sastra menjadi klinik terapi mental untuk menjaga moralitas. Kenyataannya sastra dibenturkan pada tugas dan kenyataan. Di satu sisi harus konsisten pada estetikanya, sebagaimana esensi sebuah karya seni, tetapi di sisi lain juga dituntut mampu membawa amanat berupa nilai-nilai moral kemanusiaan. Karena ada karya yang cenderung dianggap dan diduga samar dan hampir tidak menyampaikan nilai moral, seperti Belenggu karya Armin Pane yang pernah ditolak Balai Pustaka. Lalu Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, puisi vulgarisme W.S. Rendra Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta atau Nyanyian Angsa. Kemudian juga Surga dan Kepala Kawan Chairil Anwar yang dianggap antimoralitas dan antireligius.
Melihat kenyataan di atas, maka sebaiknya kita kembalikan saja pada hakikat sastra, yang menurut Jamal T. Suryanata sastra pada hakikatnya mempelajari dan mengungkapkan tentang hidup dan kehidupan manusia secara universal. Akan tetapi hal itu dilihat dari segi penikmat kita kenal doktrin pathos dan catharsisi. Dengan jalan menimbulkan pathos, yakni simpati terhadap dan merasa terlibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya sastra, dapat terjadi dengan intens apabila pembaca dapat mengadakan hubungan langsung dengan karya sastra tersebut. Pembaca akan lebih mudah menangkap gagasan dan maksud pengarang sekaligus amanat atau moral karya tersebut. Maka muncullah apa yang disebut pathos, setelah itu mencapai titik pembersihan diri, catharsisi. Pada akhirnya nanti timbul rasa lega setelah dihadapkan pada persoalan yang menurut ukuran moral tidak boleh terjadi dan merangsang jiwa dan rasio pembaca untuk sampai pada kesimpulan positif. Dengan begitu, karya sastra yang dianggap amoral akan dapat dijembatani oleh kedua doktrin di atas. Namun itu juga tergantung dari apresiatif pembaca.
Akhirnya semua sastra yang kembali pada hakikatnya, maka itulah yang dapat berperan menyongsong mental dan moralitas spiritualitas kita. Dan saya sepertinya setuju dengan apa yang pernah Romo Mangun katakan, bahwa pada awal mulanya segala sastra adalah religius, sehingga tidak ada permasalahan signifikan antara sastra yang konvensional, klasik, modern, religius, absurd, dan lainnya. Sekali lagi, karya sastra hakikatnya selalu membawa pesan moral meski beragam cara penghadirannya dalam menyikapi dan menyiasati kemajuan zaman yang sudah sangat edan ini. Semoga.
* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Singgalang,


    Kategori

    Tentang ATL

    Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi merupakan wadah sekumpulan orang-orang yang prihatin terhadap tradisi yang semakin lama semakin berkurang para penuturnya. Sekarang kami bermarkas di Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Silakan kontak kami di email atl_jambi@yahoo.com

    Pengelola

    Pemerhati