Minggu, 04 Januari 2009

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Pewarisan Tradisi Lisan Orang Rimba1


Pewarisan Tradisi Lisan Orang Rimba1
Oleh: Firdaus


Tradisi lisan merupakan warisan budaya yang masih berkembang di masyarakat. Pada
masyarakat adat tertentu bahkan menjadi ciri yang spesifik. Pada definisi lainnya, tradisi
lisan merupakan produk budaya masyarakat tertentu yang penyebarluasannya
didominasi oleh unsur lisan, di satu sisi, ia merefleksikan sistem wacana yang bukan
aksara, tetapi di sisi lain, ia juga merupakan wacana yang diucapkan, baik yang lisan
maupun yang beraksara.3 Hal ini terjadi karena tidak semua masyarakat adat mengenal
dan memiliki tradisi tulis dalam kebiasaan hidup sehari-hari.

Kalaupun tradisi tulis
dikenal itupun karena masuknya pola pendidikan modern dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu, lestari atau tidaknya tradisi lisan sangat bergantung pada kemampuan
masyarakat adat menempatkannya sebagai bagian yang terhormat. Hanya saja problem
pelestarian menjadi semakin rumit terlebih lagi dengan adanya pengabaian terhadap
masyarakat adat. Pengabaian hak hidup, hak adat, hak atas tanah, dan kecenderungan
menjadikan sekedar obyek semata menjadi bukti tidak pentingnya masyarakat adat.
Adanya beragam program yang digagas didasarkan pada “rasa keprihatinan” dan “belas
kasihan” sebab penamaan Komunitas Adat Tertinggal, Masyarakat Terasing merupakan
bentuk keengganan menempatkan mereka pada posisi yang setara dan sejajar.
Orang Rimba merupakan masyarakat adat yang menetap dalam kawasan Taman
Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Penamaan Orang Rimba merupakan terminologi yang
disepakati oleh masyarakat adat tersebut. Hal ini berdasarkan asumsi (1) penamaan
seperti Suku Anak Dalam, Suku Kubu, Komunitas Adat Tertinggal cenderung telah
memposisikan mereka sebagai masyarakat yang bodoh dan ketinggalan zaman, (2)
penamaan Orang Rimba bersifat arbiter berdasarkan pemikiran bahwa mereka hidup
dan memperoleh sumber-sumber kehidupan di rimba, (3) bahwa penamaan ini untuk
menjaga keunikan tradisi dan membedakan kebiasaan hidup mereka dengan Orang
Terang.
1 Dipresentasikan pada Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan VI di Kabupaten Wakatobi, 1-3
Desember 2008.
2 Ketua Jambi Writing Program, Program Officer Komunitas Humaniora Indonesia, dan Wakil Ketua
Asosiasi Tradisi Lisan Daerah Jambi.
3 Pudentia, Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan ATL, 1998.
4 Menurut pengakuan Tarib, satu di antara tumenggung yang berdomisili di Air Hitam, Kabupaten
Sarolangun, Jambi penamaan Orang Rimba untuk membedakan identitas dengan Orang Terang. Yang
2
Model Pewarisan Tradisi Lisan Orang Rimba
Orang Rimba, sebagai masyarakat adat yang kental dengan tradisi lisan tentu saja
mengalami problem pelestarian dan pewarisan. Selain dikarenakan tidak adanya tradisi
keberaksaraan rendahnya tingkat partisipasi dalam pendidikan (meminjam bahasa
birokrasi). Pada sisi ini terdapat kontradiksi dalam memandang pendidikan, bagi Orang
Rimba pendidikan sering dijadikan sarana pembodohan yang dilakukan Orang Terang
terhadap Orang Rimba sedangkan bagi institusi terkait dan masyarakat di Jambi pada
umumnya beranggapan bahwa sarana untuk meningkatkan derajat Orang Rimba dari
ketertinggalan dan keterasingan adalah pendidikan. Dalam konteks ini dilakukan kreasi
tertentu untuk tujuan pelestarian dan pewarisan tradisi lisan.
Potensi pewarisan dilakukan oleh Orang Rimba melalui pewarisan yang bersifat internal
dan pewarisan eksternal. Maksud pewarisan internal adalah pewarisan tradisi lisan
dilakukan secara kolektif oleh Orang Rimba untuk memenuhi kondisi-kondisi tertentu
yang mempengaruhi dan menentukan keberlangsungan adat dan kebiasaan hidup
mereka. Pemilihan dan pelantikan tumenggung sebagai pemimpin kelompok Orang
Rimba misalnya dilakukan jika orang disiapkan (biasanya berasal dari lingkungan
keluarga) telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan tokoh adat yaitu kemampuan
dalam menghafal, memahami, dan mengaplikasikan hukum adat baik terhadap diri
sendiri, anggota kelompok/komunitas, atau terhadap Orang Terang. Persyaratan ini
merupakan satu dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebab apabila tidak
lengkap pewarisan dialihkan kepada orang lain (tetap mengacu pada garis keturunan).
Keharusan dan kemampuan menguasai tradisi lisan juga menjadi syarat wajib bagi
dukun yang ditentukan oleh komunitas. Hal ini dikarenakan pada tradisi pengobatan
Orang Rimba, pembacaan mantera biasanya menyertai proses pembuatan bahan-bahan
obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pada makalah ini dituliskan mantera
pengobatan penyakit asma yang dibacakan pada saat meramu dan merebus sejenis akarakaran
untuk diminum penderita asma.
dimaksudkan dengan Orang Terang adalah masyarakat yang berdomisili di luar rimba atau di luar
kawasan Taman Nasional. Penamaan ini juga berlaku pada anggota masyarakat Orang Rimba yang telah
beralih kepercayaan. Hal ini diterapkan oleh Tumenggung Tarib terhadap anak-anak beliau yang menikah
dengan Orang Terang dan diharuskan keluar rimba atau minimal menetap di pinggir batas rimba.
Penamaan lain yaitu Orang Rimbo dikemukakan oleh Muntholib Soetomo dalam disertasinya Orang
Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi, Bandung:
Universitas Padjajaran, 1995, h.vi.
3
Bismillah
Tedung inggak tedung inggih
Tedung inggak tedung inggih
Aku menunduk menagari
Aku menyungak sekali lagi
Untung ku keno siang ka aku lagi idup
Kalau ku keno malom aku lah mati
Untung ku keno malom ka aku lagi idup
Kalau ku keno siang aku lah mati
laaillahaillallah
Pembacaan mantra untuk pengobatan dapat dilakukan secara langsung yaitu dibacakan
pada saat pengobatan atau secara tidak langsung melalui upacara bebale5. Ketentuan
pembacaan mantera pengobatan ini menunjukkan adanya mantra yang boleh diketahui
oleh orang lain dan mantra yang tidak boleh diketahui oleh orang lain.
Selain pewarisan melalui pengukuhan tokoh-tokoh adat dilakukan pewarisan dengan
menempatkan beberapa terminologi dalam tradisi lisan mereka baik sebagai aturan baru,
penamaan tempat, dan pemberian nama anak. Pada komunitas Orang Rimba terdapat
aturan baru dinamakan “hompongan”6 bermakna hadangan, menghadang, menghalangi.
Digunakan untuk memberi batas pada wilayah rimba/hutan dengan cara menanam karet.
Penggunaan istilah ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan adanya batas yang jelas
antara hutan rimba dan hutan produksi maka akan dapat dijaga kelestarian hutan yang
menjadi tempat hidup Orang Rimba. Pilihan menggunakan pohon karet sebagai batas
rimba didasari gagasan kognitif bahwa tanaman karet merupakan tanaman produktif.
Hasilnya dinikmati bersama-sama baik Orang Rimba dan Orang Terang (penduduk
dusun asal, pendatang, dan transmigrasi).7 Pada pola ini terlihat bahwa tradisi lisan tidak
hanya sekedar sarana pemenuhan kebutuhan kognitif saja tetapi juga sebagai untuk
menjaga kesejajaran manusia dengan alam dan kesetaraan antara sesama manusia.
Penghormatan Orang Terang (dalam hal ini masyarakat transmigrasi sangat baik karena
mereka diberi kepercayaan untuk menyadap karet dan menggelola hasil produksi.
5 Upacara “bebale” dapat diartikan sebagai upacara menghormati dewa-dewa dengan menyiapkan
sembilan balai, ditempati seorang dukun dan sesaji. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya untuk
pengukuhan tumenggung tetapi juga untuk upacara pengukuhan dukun, perkawinan, pengobatan,
pengukuhan jenang (semacam penghubungan dengan Orang Terang). Hanya saja tidak ada dokumentasi
upacara ini karena bersifat tertutup kecuali pada komunitas Orang Rimba yang menjadi Orang Terang
melaksanakan upacara pengukuhan berdasarkan cara-cara formal.
6 Terminologi “hompongan” merupakan pemaknaan mendalam dari prinsip hidup bermasyarakat yaitu
apabila seseorang melangkah ke kebun orang lain tanpa izin maka orang tersebut dianggap melangkahi
kepala. Penjelasan ini berdasarkan penuturan tumenggung Tarib. Beliau juga memaparkan apabila
seseorang melangkahi kepala orang lain sama artinya dengan menghina adat dan menghina martabat.
7 Orang Rimba sebagai pemilik tanaman karet biasanya mengikutsertakan Orang Terang sebagai
penyadap karet. Kesepakatan yang digunakan adalah 2/3 untuk penyadap dan 1/3 untuk pemilik.
4
“Tanoh Peronok’on”8 atau “tanah peranakan” merupakan peristilahan untuk menamai
tempat ibu-ibu melahirkan. Prosesi melahirkan memiliki kesakralan yang sama dengan
prosesi kematian. Perbedaannya terletak pada kontradiksi yang menyertai. Maksudnya
ibu yang akan melahirkan diantar oleh seluruh anggota komunitas ke tempat khusus
yaitu tanoh peronok’on. Di tempat tersebut telah disiapkan bahan-bahan makanan,
peralatan melahirkan, dan didampingi dukun beranak. Pada prosesi kematian, seseorang
yang sakit ditempat pada “sudung” atau pondok kecil dilengkapi bahan-bahan pangan,
sarana untuk menjaga diri dari binatang buas dan berbisa namun orang yang sakit
ditinggalkan sendiri sedangkan keluarga dan anggota komunitas Orang Rimba hanya
melihat dari jauh. Akan tetapi apabila ibu atau anak atau orang yang sakit meninggal
dunia maka kedukaan dan kesedihan Orang Rimba diwujudkan dalam bentuk tradisi
“melangun”9 yaitu tradisi eksodus ke wilayah lain dalam beberapa waktu. Biasanya
berlangsung antara 5 bulan sampai 2 tahun. Namun mengingat kondisi hutan yang
semakin kritis maka berdasarkan kesepakatan kolektif masa “melangun” dipersingkat
menjadi maksimal 6 bulan.
Penggunaan tradisi lisan pada pemberian nama juga merupakan upaya-upaya pewarisan
yang disepakati dan telah lama dilakukan Orang Rimba. Pemberian nama disesuaikan
dengan kondisi fisik dan sifat-sifat yang mengikuti. Misalnya nama “bunga sanggul”
untuk nama perempuan yang fisiknya menarik terutama rambut panjang yang disanggul.
Begitu pula dengan nama “pengantap” untuk menamakan seseorang yang sangat
berketetapan hati. Penggunaan terminologi ini tidak hanya menyesuaikan dengan
karakteristik fisik dan sifat manusiawi tetapi terkadang baru muncul sesuai kebiasaan
sehari-hari. Misalnya nama “pengikat”, “bejoget”, “meratai” untuk wujud simbolisasi
kemampuan mengikat, kebiasaan beratai atau mengoyangkan tubuh. Bahkan ada pula
menggunakan nama “jujur” sebagai nama salah satu dewa Orang Rimba. Pemberian
nama ini terkadang juga dilakukan untuk masyarakat yang menjadi tamu Orang Rimba
sebagai bentuk penghargaan atas kesediaan berkunjung.
8 “Tanoh Peronok’on” atau “tanah peranakan” hanya boleh dilihat dan ditempati oleh Orang Rimba
terutama anggota keluarga yang akan melahirkan.Kesakralan tempat ini biasanya ditandai dengan adanya
lokasi tanaman obat dan tanaman buah-buahan yang bermanfaat bagi anak dan ibu.
9 Pada tradisi “melangun”, Orang Rimba bersikap menirukan gerakan dan suara-suara hewan terkadang
juga disertai tradisi lisan “meratop” atau “meratap” yang mengungkapkan kenangan tentang “kepergian”
seseorang baik secara fisik dalam artian meninggal dunia maupun non fisik dalam artian menjadi Orang
Terang.
5
Pewarisan internal ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, masyarakat adat lainnya
di Indonesia juga telah melakukan langkah yang sama. Pada pewarisan Nyanyi Panjang
Tombo lebih bersifat terbuka dengan memberikan kesempatan pada seluruh anggota
pesukuan untuk mempelajari dan memahami Tombo. 10 Pola/model internal seperti ini
menunjukkan bahwa kesadaran kolektif untuk melestarikan tradisi agar lebih dihargai
dan mendapat tempat yang sejajar dengan anggota masyarakat lainnya merupakan
motivasi utama Orang Rimba melakukan pewarisan tradisi lisan. Keinginan ini telah
terwujud dengan diikutsertakannya tumenggung sebagai pemimpin adat Orang Rimba
untuk menentukan keputusan-keputusan yang bersentuhan dengan hukum adat.
Hubungan sejajar ini membentuk kesepahaman antara Orang Rimba dan Orang Terang
untuk saling menjaga dan menghormati tradisi masing-masing meskipun di antara
Orang Terang juga terdapat Orang Rimba yang memilih keluar hutan, menikah dengan
masyarakat transmigrasi atau masyarakat dusun dan menentukan secara sadar pilihan
kepercayaan normatif.
Pewarisan eksternal merupakan model pewarisan yang dilakukan secara kolektif atau
individual oleh komunitas atau individu di luar sistem. Keterlibatan aktif dengan cara
berpartisipasi langsung dalam beberapa bagian atau keseluruhan aktifitas Orang Rimba
sehari-hari merupakan teknis yang sebaiknya digunakan. Pada umumnya penerapan
partisipasi aktif/keterlibatan aktif menimbulkan pola interaksi timbal balik karena
adanya saling kesepahaman. Teknik atau metode lainnya adalah keterlibatan pasif
dengan cara memposisikan sebagai pengamat semata. Aspek dokumenter merupakan
hasil maksimal dari penerapan partisipasi pasif/keterlibatan pasif.
Model pewarisan eksternal dengan menggunakan pendekatan partisipasi aktif dilakukan
oleh fasilitator pendidikan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI. Guru
Rimba11 menggunakan dongeng populer sebagai salah satu formula pada pengajaran
BTH (baca tulis hitung). Peningkatan kemampuan baca tulis disertai dengan pendekatan
yang manusiawi menimbulkan motivasi para murid dan kader12 untuk menceritakan dan
menulis dongeng rimba yaitu ande-ande yang telah mereka kenal sejak kanak-kanak.
10 Tenas Effendy, Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan, Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, Toyota Foundation, 1997, h. 35.
11 Istilah lain dari fasilitator pendidikan. Menurut penulis istilah ini diciptakan untuk menimbulkan
keterkaitan dan keterikatan emosionil antara fasilitator dengan Orang Rimba.
12 Kader merupakan Orang Rimba yang disiapkan sebagai penerus Guru Rimba untuk melanjutkan
pengajaran BTH di komunitas masing-masing.
6
Proses penulisan yang mereka lakukan sendiri meski dengan ungkapan bahasa yang
sangat sederhana menunjukkan pemahaman mereka bahwa yang dilakukan merupakan
suatu kesadaran internal untuk memperkenalkan sekaligus mengabadikan tradisi yang
telah akrab dalam keseharian mereka.
Tapi ketika dongeng ini menjalani transformasi bentuk dari lisan menuju tulisan tentu
saja ini merupakan satu sistem yang kompleks. Kompleksitas pertama muncul dari
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan keberaksaraan. Kompleks ini terselesaikan
dengan adanya fakta bahwa dibutuhkan kontrak sosial tertulis antara Orang Rimba
dengan Orang Terang (dalam hal ini diwakili oleh kontrak bisnis di mana Orang Rimba
menjadi patron sedangkan Orang Terang menjadi klien). Dengan demikian tradisi
aksara sebenarnya adalah penerapan teknologi yang diperkenalkan kepada masyarakat
Orang Rimba sebagai alat penyelesaian konflik Orang Rimba-Orang Terang dalam
kontrak sosial.
Kompleks kedua adalah menumbuhkan kebutuhan internal teknologi aksara atau
kontekstualisasi keberaksaraan. Bila teknologi aksara berhenti sampai pada kompleks
pertama, maka tradisi aksara hanya menjadi alat penyelamat instan bagi Orang Rimba.
Sedangkan pada konteks lokal-global, tradisi keberaksaraan menjadi faktor penentu
hidup matinya suatu komunitas berdasarkan asas ketersiaran suatu keadaan. Hal ini
berarti bahwa dengan adanya dokumen-dokumen tertulis yang dikeluarkan oleh Orang
Rimba adalah fakta berdasarkan pemahaman mereka untuk dikomunikasikan kepada
masyarakat lain. Pada konteks ini posisi Orang Rimba adalah nyata dan faktual seperti
halnya posisi Orang Terang. Komunikasi ini menjadi penting sejak diketahui bahwa
kemampuan mengartikulasikan suatu keadaan yang berterima dapat memicu kerjasama
dan kemitraan yang lebih baik berdasarkan kesetaraan.
Kontekstualisasi tradisi keberaksaraan yang dilakukan KKI Warsi untuk membukukan
ande-ande merupakan inisiatif anak-anak Orang Rimba itu sendiri. Dalam hal ini
kontekstualisasi berlandaskan asas kebutuhan mereka untuk mendistribusikan tradisi
lisan yang mereka miliki secara internal yang pada akhirnya menjadi alat komunikasi
keberadaan mereka kepada Orang Terang (sebagai representasi terdekat masyarakat
global). Hal ini diungkapkan oleh Jujur dalam “Kisah-Kisah Anak Rimba” yang
disusun oleh KKI Warsi, “biak hopi helang ande-ande yoi” (“agar tidak hilang dongeng
7
ini”). Melalui ungkapannya Jujur secara eksplisit menyatakan kesadarannya bahwa
tradisi lisan adalah primer bagi Orang Rimba sedangkan faktor pendukung kelestarian
tradisi lisan tersebut dengan adanya pendokumentasian materi ande-ande itu.
Pada titik dokumentatif ini, tradisi keberaksaraan berada pada kompleks puncak. Tradisi
keberaksaraan adalah suatu sistem tanda asing yang dipelajari Orang Rimba sebagai
bentuk negosiasi untuk mampu bertahan terhadap gempuran zaman. Sebagai suatu yang
dinegosiasikan tradisi keberaksaraan tidak dapat sepenuhnya diterima mengingat tradisi
ini membutuhkan kelengkapan permanen sedangkan kehidupan Orang Rimba bersifat
semi-nomad.13 Dengan demikian, pendokumentasian tradisi lisan yang dilakukan oleh
anak-anak Orang Rimba dengan ande-ande yang mereka kenal adalah suatu usaha
menjadikan dunia milik mereka ada dan hadir secara kognitif dan imajinatif dihadapan
Orang Terang. Dengan kata lain, tradisi lisan justru membuktikan keunggulan vis a vis
dari tradisi keberaksaraan dikarenakan pendokumentasian ande-ande sebagai alat tawar
dilakukan secara sadar oleh anak-anak Orang Rimba.14
Model pewarisan internal dan eksternal yang dikemukakan dalam makalah ini pada
hakekatnya hasil analisis dan modifikasi dari penerapan metode kualitatif. Metode ini
yang pada hakekatnya menempatkan manusia sebagai subyek dan sekaligus obyek yang
harus mampu memposisikan kesejajaran sesama. Selain itu seperti dikemukakan oleh
Moleong (2005) bahwa pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan yang jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka
dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.15
13 Pada komunitas Orang Rimba tertentu terdapat pemikiran bahwa pendidikan sering dijadikan sebagai
“alat pembodohan” dan sebagai alat untuk menjauhkan Orang Rimba dari tradisi lama yang telah mereka
jalani dan patuhi. Motif ekonomi, motif religius bahkan motif politik seringkali menyertai proses
pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu.
14 Realitas ini menunjukkan bahwa pernyataan peneliti sastra lisan modern umumnya mengakui bahwa
penghafalan karya panjang dalam masyarakat niraksara, jarang terdapat. Selanjutnya dapat dibaca A
Teeuw, Indonesia Antara Kelisan dan Keberaksaraan. Jakarta, Pustaka jaya, 1994, h. 4.
15 Prof, Dr, Lexy J Moleong, MA, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, PT. Remaja
Rosda Karya, 2005, h. 9-10.

8
Referensi
Moleong, J Lexy, Prof, Dr, MA. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi.
Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
Murniatie, Sri Dewi. 2006. Bahasa Mantra Pengobatan Suku Anak Dalam di Desa
Hitam Ulu Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Skripsi (Belum Diterbitkan).
Jambi: Universitas Jambi.
Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan
Yayasan ATL.
Rahmadi, ed. 2007. Kisah-kisah Anak Rimba. Jambi: Tim Publikasi KKI WARSI.
Soetomo, Muntholib. 1995. Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat
Terasing di Makekal, Provinsi Jambi. Disertasi (Belum Diterbitkan). Bandung:
Universitas Padjajaran, 1995, h.vi.
Teeuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta, Pustaka Jaya.
Tenas Effendy. 1997. Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan,
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Toyota Foundation.

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Betale dan Syair Mikraj


Betale dan Syair Mikraj
(Bahasa santun Uhang Kincay)

Oleh: Nukman, S.S.

Kehidupan berbangsa dan bernegara banyak ditentukan oleh kualitas anggota masyarakatnya. Salah satu penanda kualitas adalah kemampuannya dalam berbahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Kualitas berbahasa seseorang dapat juga dinilai dari tutur kata yang diucapkannya. Bahasa yang benar tidak saja karena konstruksi tata bahasanya benar, tetapi juga karena disampaikan dengan cara yang tepat sesuai dengan situasi, kondisi, dan sasaran pembicaranya.

Bila bahasa menentukan bangsa, berati bahasa seseorang akan menentukan kualitas “bangsa”, kualitas budayanya.
Pemerolehan bahasa yang santun ini tidak dengan serta merta dapat dilakukan dan didapatkan oleh seseorang. Kebiasaan dari sejak dini dan lingkungan sosial masyarakat akan banyak menentukan pola berbahasa seseorang.Dalam konteks budaya Indonesia, salah satu sumber berbahasa dengan santun dapat diambil dari pantun. Karena sifat kesantunannya, pantun hampir tidak pernah melukai hati orang meskipun pantun yang dimaksudkannya tersebut dimaksudkan sebagai kritikan.
Pantun telah sangat lama dikenal sebagai bagian dari tradisi masyarakat budaya Indonesia, meskipun memang kini tidak banyak yang menggunakannya. Pantun dapat digunakan dalam berbagai kesempatan, baik ritual maupun dalam kehidupan keseharian kelompok masyarakat. Kalangan yang memakainya pun beragam, tua muda dan bahkan anak-anak memakainya dalam permainan tradisional atau dalam lagu-lagu permainan anak. Banyak hal dapat disampaikan dalam pantun: nasehat, petuah, sindiran, kritikan, berbagai ajaran termasuk ajaran agama, pesan, ungkapan kasih sayang antaranggota keluarga atau antarkekasih, harapan, etos kerja, pendidikan, dan berbagai ekspresi lainnya. Karena itu, pantun dapat dibagi atas berbagai jenis, seperti pantun nasehat, pantun remaja, pantun muda-mudi, pantun anak-anak, dan juga berbalas pantun, yaitu pantun yang dibawakan secara berpasangan. Pantun pada umumnya terdiri dari 4 baris: 2 baris pertama merupakan sampiran, yaitu bait-bait yang menyampaikan arahan untuk dijawab pada 2 baris berikutnya yang merupakan isi pantun tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangannya dan juga dalam berbagai jenis pantun yang dapat dijumpai di Nusantara ini, tidak semua pantun harus memakai kriteria seperti yang disebutkan di atas.

Betale dan Syair Mikraj

Betale dan Syair Mikraj merupakan dua sastra lisan Kerinci yang menggunakan medium bahasa yang berbeda. Syair Mikraj dituturkan dengan menggunakan bahasa Indonesia, sementara betale menggunakan bahasa Kerinci. Dengan dua bentuk bahasa itulah, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua sastra lisan di Provinsi Jambi menggunakan Bahasa Melayu Jambi.
Betale dan Syair Mikraj merupakan sastra lisan yang terdapat di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Betale dan Syair Mikraj pada awalnya dituturkan, namun dalam perkembangannya telah ada yang dituliskan. Walaupun dituliskan, naskah betale dan syair mikraj tersebut belum bisa mewakili keseluruhan pernyataan sastra lisan tersebut. Misalnya gerak dan irama yang dilakukan penutur.
Kabupaten Kerinci merupakan salah satu daerah yang terletak dibagian Barat Provinsi Jambi, daerah ini selain dikenal dengan kekayaan objek wisatanya. Juga memiliki koleksi naskah kuno terbesar dibandingkankan dengan kabupaten lain yang di Provinsi Jambi. Koleksi naskah kuno tersebut merupakan milik masyarakat yang hak pewarisannya telah diatur dalam sistem adat mereka. Akibatnya, tidak semua naskah kuno Kerinci itu bisa diperlihatkan baik ke filolog maupun ke masyarakat biasa. Biasanya naskah kuno Kerinci ini banyak diturunkan pada pelaksaanaan kenduri seko, yang pelaksananaanya menyesuaikan dengan ada tidaknya penukaran gelar pemuka adat.
Berbeda halnya dengan naskah kuno(sastra tulis), pengambilan data sastra lisan Kerinci justeru lebih mudah. Karena peneliti hanya diharuskan untuk membayar biaya pertunjukkan, tidak ada aturan yang mengharuskan pertunjukkan untuk dilakukan pada saat kenduri seko ataupun acara adat lainnya.
Sastar lisan merupakan cerminan kreativitas mental masyarakat, kreativitas yang tetap menjaga dan mengedepankan unsur kemurniannya. Sastra lisan Betale dan Syair Mikraj memiliki fungsi yang berbeda. Betale merupakan refleksi rasa syukur, hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhannya. Sementara Syair Mikraj lebih mengedepankan bentuk kekuasaan Ilahi Rabbi di samping hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dua sastra lisan tersebut, hanya dituturkan pada bulan tertentu saja. Syair Mikraj dituturkan pada bulan Rajab, pada saat perayaan Israk Mikraj Nabi Muhammad SAW. Syair mikraj ini terdiri dari 259 bait, 5 bait bagian pembuka, 4 bait penutup, dan 250 bait yang berisikan kisah perjalanan Rasullullah saat menjemput shalat lima waktu.

Berikut beberapa bait Syair Mikraj :
1. Bagian pembuka syair
Dengan bismillah saya mulai
Mengarang syair mikraj nabi
Nabi Muhammad Rasul Illahi
Israk dan mikraj dimalam hari

Alhamdulillah kata kedua
Memuji Allah tuhan semesta
Syalawat dan salam pada rasulnya
Sahabat setia serta keluarga

Sesudah memuji pada illahi
Di atas kertas pena menari
Mohon kehadirat rabbulizzati
Semoga karangan Allah berkati

Mengigatkan ayat quran suci
Siapa membesarkan syariat Islami
Iman dan taqwa kokoh dihati
Begitu pula israk dan mikraj nabi

Mukaddimah tidak dipanjangkan lagi
Cukup disini sekedar bayangan
Saudara membaca harap betulkan
Khilaf dan sesat kalau kejadian

2. Kutipan bagian isi syair
Petang ahad dimalam isnin
27 rajab udara pun dingin
Datang perintah rabbul alamin
Mikraj ke langit Muhammad amin

Petang ahad dimalam hari
Datang perintah dari illahi
Menyuruh jibrail turun ke bumi
Menjeput Muhammad rasul yang ummi

Mikail Israfil keduanya serta
Membawa buraq kuda disyurga
Muhammad dituju pada tempatnya
Beliau tidur sedang nyenyaknya

Dihijir Ismail terbaring diri
Hamzah dikanan Jakfar dikiri
Ketelaga zam-zam didukungnya nabi
Serta menyampaikan perintah illahi


Dimalam itu perintah Tuhan
Tuan ke langit akan dinaikkan
Sebelum itu dada dibersihkan
Mari kemari saya kerjakan 4

Jibrail bekerja dengan segera
Membelah dada nabi yang mulia
Dari cekuk leher sampai ke bawahnya
Dibersihkan semua di dalam dada

Disuruh mikail pergi ke telaga
Mengambil zam-zam satu dua timba
Pencuci hati nabi yang mulia
Supaya hidupnya berlapang dada

Diambil lagi timba yang lain
Berisi hikmah imam dan yakin
Halim pengasih sempurna mukmin
Dibawanya dari Jannatun Nain

Ditutupkan dada dengan segera
Surutlah dada sebagai bermula
Luka tidak bekas tiada
Nabi pun duduk dengan senangnya

Kemudian jibrail bekerja lagi
Mencap antara belikat nabi
Hatamunnabi penyudahan nabi
Hingga kiamat tiada lagi

Jibril memanggilkan buraq itu
Wahai mikail lekaslah bantu
Lalai dan lengah tiada padamu
Kodrat iradat pasti berlaku

Diambilnya buraq yang telah sedia
Cukup berkekang serta pelana
Tijak-tijak emas di syurga
Jibrail memegang tali kekangnya
Buraqpun liar merupakan diri
Seolah tak ridho dikendarai
Jibrail berkata dengan cemeti
Wahai buraq Alatastami

3. Bagian penutup
Wahai saudara tolong ikhwani
Syair Mikraj habis disini
Simpan masuk dalam hati
Pedoman hidup di dunia ini

Masukkan benar ke dalam dada
Segala ajaran mana yang ada
Larang menentangnya jauhi semua
Coba amalkan sehabis tangga

Alhamdulillahirabbil Alamin
Dijadikan kami umat muttakin
Umat yang saleh tulus dan yakin
Semoga menjadi aulia solihin

Ya Allah Azzawajalla
Masukkan kami ke dalam syurga
Terjauh dari api neraka
Terhindar dari segala bencana

Syair ini dituturkan oleh kaum perempuan dengan irama yang cukup khas, syair disampaikan menjelang uraian Israk oleh penceramah. Mbacu sa’e (membaca syair), mereka yakini sebagai media untuk mengetahui secara jelas kisah perjalanan Nabi Muhammad, SAW pada saat menjemput shalat lima waktu. Sastra lisan ini dapat ditemukan di Desa Sebukar dan beberapa desa yang ada di Kecamatan Sitinjau Laut Kerinci.
Berbeda hal dengan Syair Mikraj, betale dilakukan pada saat musim haji. Setiap malam menjelang keberangkatan jamaah, petale senantiasa mengunjungi rumah calon jamaah atau di rumah warga yang sengaja mengundang calon jamaah dan petale untuk menuturkan isi yang ada di dalam setiap bait tale yang mereka miliki. Betale memiliki berbagai bentuk, misalnya tale pengantar dan tale pelepasan. Kebiasaan yang diwarisi secara turun-temurun ini tidak hanya untuk orang tua saja, akan tetapi pada saat sekarang ini telah banyak diikuti generasi muda Kerinci.
Berikut ungkapan yang digunakan saat betale :

Ilok nia puggei ke luhak
Dame dapek puntuoh tubeuh
Ilok nia puggei ku mekah
Amal dapek duseu tubueh

Lah pueh dudeuk mungince
Munukak-munukak ugei
Lah pueh dudeuk bupike
Ku mukah ugeu maku sna atai

Sungguh jeuh pgeiku gua
Jalan rusak banyak berlumpur
Kayo di lupeh dengan doa
Supayo dapek haji yang mabrur

Sejak pagei mumakan manggauh
Uhang Hiang mumasang bendera
Terupat terpuji meminta maaf
Tumakah tuminang mintak direla

Apa guno pasang pelito
Kalau tidak dimakan apai
Apa guno nahu harto
Harto idiek jadi kantai

    Kategori

    Tentang ATL

    Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi merupakan wadah sekumpulan orang-orang yang prihatin terhadap tradisi yang semakin lama semakin berkurang para penuturnya. Sekarang kami bermarkas di Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Silakan kontak kami di email atl_jambi@yahoo.com

    Pengelola

    Pemerhati